Memperhatikan sepak terjang Ruhut dalam dunia politik, sepertinya jalan Ruhutlah yang benar. Setelah Golkar dihukum masyarakat di pemilu 1999 dan untuk pertama kalinya kalah dalam pemilu, maka tahun 2004 Golkar kembali menjadi jawara. Namun Ruhut yang sudah mencium gelagat yang kurang baik di Golkar akhirnya hengkang ke Demokrat, dan terbukti di 2009 Demokrat tampil sebagai Jawara, dan berhasil menempatkan Pak Beye sebagai Presiden, dan kala itu Ruhut merupakan anggota tim sukses pemenangan SBY-Budiono.Â
Masa 2009-2014 merupakan masa yang paling sulit untuk Demokrat akibat kasus Century dan juga banyaknya kader Demokrat yang terlibat korupsi. Masa ini merupakan pekerjaan terberat Ruhut Sitompul sepanjang karirnya bagai kader partai, membela partai yang sedang terpuruk. Hanya oleh karena etika dan masih memiliki rasa malulah yang membuat Ruhut Sitompul masih bertahan di Demokrat, dan juga PDIP kala itu memang tidak memberi lampu hijau untuk menampung Ruhut Sitompul.Â
Walaupun berhasil meraih kursi di DPR RI, namun hati Ruhut sudah tidak lagi berada di Demokrat, hal ini terlihat dari sikap politiknya yang kerap kali berseberangan dengan mayoritas petinggi Demokrat. Di Pilpres 2014, Ruhut tampil secara terbuka menggalang dukungan untuk pak Jokowi walaupun sebenarnya Demokrat berpihak kepada Prabowo-Hatta. Waktu itu terbukti Ruhut benar, dan Pak Jokowi berhasil menjadi Presiden RI.Â
Di Pilkada DKI 2019, entah kenapa Ruhut tampil membela Ahok, padahal di Pilkada 2012 Demokrat yang mengusung Foke-Nara. Ruhut ada di pihak yang berseberangan dengan Ahok. Sepertinya Ruhut sudah mencium gelagat buruk dengan nasib Partai Demokrat untuk selanjutnya, sehingga sedikitpun ia tidak lagi merasa perlu mempertahankan dirinya untuk tetap berada di Partai itu, dan mempersilahkan bila dirinya harus dipecat. Hal ini menjadi suatu indikasi kuat bahwa kemenangan Ahok di Pilkada DKI 2017, akan mudah seperti kemenangan Pak Beye di 2009, dimana ketika itu Ruhut tampil all out mendukung Pak Beye.Â
Tidak seperti Ruhut, yang insting politik dan penciumannya selalu tertuju kepada pihak yang akan menang, Amien Rais justru menjadi antitesis dari naluri politik Ruhut Sitompul. Amien yang hampir tidak pernah absen di setiap hajatan politik, dan selalu ingin berperan layaknya tokoh penentu, justru tidak bernasib semujur Ruhut Sitompul.Â
Di Pilpres 2014, ia begitu habis-habisan mendukung pasangan Prabowo-Hatta, namun insting Ruhutlah yang terbukti benar. Padahal, Amien Rais sudah berbuat jauh melebihi kapasitas dan kemampuannya, namun lagi-lagi Ruhut jugalah yang benar.Â
Barangkali memang sudah bawaan lahir keduanya, nasib politik mereka selalu bertolak belakang. Bila di Pemilu 1999 meskipun mendeklarasikan dirinya sebagai Bapak Reformasi, namun PANnya Amien Rais hanya meraih 7,12 persen suara, sehingga bisa disebut bahwa Amien Rais belum tepat disebut Bapak Reformasi, beda dengan Ibu Megawati yang kala itu membawa PDIP tampil sebagai jawara dengan raihan 33,74 persen suara.Â
Demikian juga di Pilpres 2004, Amien lagi-lagi harus mengakui bahwa takdirnya bukanlah sebagai seorang pemenang. Ia hanya meraih 14,66% suara dan berada di urutan keempat. Di Pemilu 2009 PAN menempati peringkat kelima dengan 6.01% suara, sehingga bila mengajukan Amien Rais kembali ikut Pilpres sudah pasti akan menimbulkan kerugian finansial bagi pengusung.Â
Akhirnya PAN dan Amien Rais mengambil langkah pragmatis kala itu dengan mengekor insting Ruhut Sitompul, yakni ikut koalisi yang mengusung Pak Beye. Dan memang kelihatan sekali bahwa Amien Rais sangat resisten dengan Megawati dan PDIP, bahkan jauh sebelum reformasi. Amien Rais terlihat sangat gengsi bila harus mengakui keunggulan Ibu Megawati, padahal fakta menunjukkan bahwa Amien Rais maupun partainya tidak pernah mengungguli Bu Mega.Â
Kemenangan Pak Beye kala itu bisa dikatakan tidak ada kaitannya dengan pilihan Amien Rais, karena pada waktu itu, jika dipasangkan dengan sandal jepit sekalipun, Pak Beye tetap menang.Sehingga sama sekali tidak relevan atau signifikan bila mengaitkan kemenangan Pak Beye dengan pilihan Amien Rais. Lain halnya dengan Ruhut, insting Ruhut memang benar dan ia yang sebelumnya berada di Partai Golkar hengkang ke Demokrat karena ia sudah mencium aroma kemenangan di kubu Demokrat.Â
Di Pilkada DKI 2017, Amien kembali muncul dan mulai berakrobat. Seperti biasa, Sosok Amien pantang tak ikut di setiap hajatan politik berskala penting. Jangan sampai ia tidak diperhatikan, ia bisa marah tidak karuan bila ia tidak diikutkan. Dengan modal 2 kursi di DPRD DKI, PAN setelah ketumnya diancam akan dilengserkan Amien melalui munaslub jika dukung Ahok, akhirnya memutuskan ikut koalisinya Pak Beye mengusung Agus Yudhoyono.Â