Mohon tunggu...
Omri L Toruan
Omri L Toruan Mohon Tunggu... Freelancer - Tak Bisa ke Lain Hati

@omri_toruan|berpihak kepada kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kecerdasan Sosial, Membasmi Terorisme Tanpa Kekerasan

2 September 2016   16:05 Diperbarui: 2 September 2016   17:58 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sulit dipercaya, IAH (17), tersangka pelaku teror bom di Gereja Katolik Stasi Santo Yoseph, Medan, Sumatera Utara,  tanpa merasa takut, bisa merencanakan dan melakukan teror demikian. Meski tidak berhasil mewujudkan apa yang sebelumnya diniatkannya karena aksinya segera digagalkan oleh jemaat, namun tidak kurang seorang pastor ( imam katolik) sempat terluka oleh pisau dapur yang juga sudah dipersiapkan oleh pelaku sebelumnya.

Berdasarkan pengakuannya kepada petugas, ia melakukan aksi itu lantaran disuruh oleh seseorang yang tidak ia kenal dan juga diiming-imingi uang. Namun, ada kesulitan mencerna pengakuan demikian, sebab untuk apa lagi uang bagi pelaku, jika toh ia harus mati bunuh diri?

Dalam keterangan selanjutnya, yang bersangkutan mengatakan belajar dan terinspirasi terorisme dan kelompok garis keras dari internet. Ia juga bahkan belajar merangkai bom dari internet. Menurut penjelasan Kepala BIN, Sutiyoso, IAH memang mengidolakan ISIS, namun hubungan pria 17 tahun itu dengan ISIS masih hanya sebatas simpatisan, bukan jaringan. Di ransel si pelaku ada gambar ISIS, ada tulisan ' I Love Al-Baghdadi'.

Wajah sepolos itu dengan usianya yang masih muda itu terinspirasi dengan tindakan terorisme serta pemimpin teroris, kok bisa?

Tindakan yang bersangkutan tentu tidak mewakili  pemahaman siapapun yang masih bisa menggunakan akal sehat. Namun apa yang dilakukan oleh yang bersangkutan, tidak kurang membuat kita bertanya, kenapa ada orang yang mau melakukan tindakan demikian? Mengapa ada banyak orang yang bersedia menjadi korban dan dikorbankan, serta membuat banyak orang lain menjadi korban  demi melakukan apa yang diyakini oleh orang lain?

Mengapa calon-calon korban ini  tidak pernah bertanya, mengapa harus menyuruh orang lain? Kenapa tidak melakukannya sendiri? Andai tindakan itu benar akan mendapatkan seperti apa yang dijanjikan, mengapa mereka tidak mengambil kesempatan itu  duluan? Mengapa harus menyuruh orang lain?

Banyak hal yang mempengaruhi seseorang sehingga  menerima sesuatu tanpa melalui proses nalar yang baik atau akal sehat. Disinilah  pentingnya pengetahuan. Pengetahuan akan membuat orang menjadi cerda. Cerdas untuk menilai, menimbang, menerima, dan memutuskan, serta melakukan sesuatu hal, termasuk paham atau pemikiran. Pengetahuan ini tentu harus dibingkai oleh kebenaran, dan tentu kebenaran yang sifatnya universal bukan parsial. Karena apa yang benar pada sekelompok orang bisa jadi tidak demikian pada kelompok lain.

Di sinilah diperlukan kecerdasan sosial, ketika kita hidup bersama dalam satu lingkungan, wilayah, negara, dan dunia yang lebih luas. Kecerdasan ini tidak datang dan terjadi begitu saja, ia peroleh dari pendidikan atau pengajaran, pengalaman melalui interaksi sosial dan juga warisan budaya, tradisi leluhur yang diturunkan dan masih dilakoni. Pengetahuan inilah yang membentuk seseorang dan menjadikannya cerdas, termasuk dalam kehidupan sosial yang menuntut kecerdasan.

Dalam konteks IAH, Ini sebenarnya persoalan kita semua, bukan hanya seorang IAH. Ia hanya korban, korban dari kesalahan banyak hal yang pada akhirnya telah membentuk yang bersangkutan memiliki suatu konsep berpikir yang demikian. Itulah yang diketahuinya, itulah yang diyakininya dan itu juga kemudian yang dilakukannya.

Pertama; kita masih belum sepakat tentang apa  itu terorisme. Bahkan pada satu atau beberapa peristiwa teror, secara terselubung masih ada pihak-pihak yang berupaya melakukan pembenaran atas tindakan si pelaku. Ada yang menyebutnya sebagai konspirasi pihak tertentu untuk suatu maksud. Dan biasanya, tindakan tegas dan keras yang dilakukan oleh aparat terhadap para pelaku mendapat protes keras dari kelompok ini. 

Kita bisa melihat kebenaran parsial yang hendak disuarakan layaknya kebenaran universal yang harus bisa diterima oleh satu masyarakat sosial . Meski tidak ikut serta, namun protes mereka akibat penindakan oleh negara merupakan wujud persetujuan mereka terhadap aksi si pelaku. Tentu ini menjadi masalah dalam suatu relasi sosial. Bahkan kehadiran negara dalam menindaknya seringkali dicurigai, padahal justru negara tidak boleh absen dalam situasi demikian, ketika ada nilai parsial yang hendak dipaksakan melalui tindak kekerasan, maka negara harus bertindak mencegah dan mengatasinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun