Di antara waktu yang kian sempit (sebab mereka tak tahu kapan Romo-nya akan berpulang), jadilah tiga saudara ini bahu membahu mencari apa pun yang dapat dijadikan petunjuk. Perjalanan yang tak hanya membuat mereka mengetahui kisah muda sang ayah, tapi juga tentang perjalanan panjang pendirian Kretek Djagad Raja saat melewati masa sebelum kemerdekaan dan pasca kemerdekaan yang sedemikian sulit.
* * *
Hwaaaah, novel ini BAGUS BANGET! ini kali kedua saya baca novel dari Ratih Kumala setelah sebelumnya kenalan lewat novelet Wesel Pos. Alasan terbesar saya membaca Gadis Kretek ialah novel ini tengah dipersiapkan menjadi sebuah series yang nantinya akan tayang di Neflix. Dengan jajaran para aktor papan atas seperti Dian Sastrowardoyo, Ario Bayu dan Sheila Dara, jelas memunculkan rasa penasaran yang begitu besar terlebih ini kali pertama Netflix membuah serial khusus di Indonesia, loh!
Kisah Gadis Kretek pun tak sebatas di kehidupan Romo dan ketiga anaknya di masa kini. Namun, novel ini juga bergaya maju mundur dengan mengulik kehidupan Idroes Moeria dan Soedjagad, dua orang yang bersaing dalam menghasilkan kretek terbaik. Tak hanya soal bisnis, keduanya pun bersaing memperebutkan satu wanita yang sama, yakni Roemaisa, kembang desa yang pintar dan anggun.
Mungkin karena saya membaca Gadis Kretek tanpa espektasi yang berlebihan, saya sangat menikmati jalan cerita kehidupan para tokoh-tokohnya (apalagi sambil membayangkan aktor/aktris yang nanti memerankannya). Bahasa yang digunakan Ratih Kumala juga sederhana tanpa bikin pening kepala. Hanya di beberapa dialog berbahasa jawa yang saya butuh usaha lebih untuk membaca terjemahannya di bagian belakang bab, tapi selebihnya saya sangat bahagia membacanya.
Walau beberapa pengulas di goodreads bilang kecewa terhadap novel ini yang kurang mengeksplor sejarah pembuatan kretek dan juga kisah sejarah Indonesia yang hanya jadi tempelan, namun saya pribadi merasa semuanya pas. Ada banyak sekali istilah dan cara pembuatan kretek yang baru saya ketahui setelah membaca Gadis Kretek ini.
"Dulu, di Kudus ada Pak Haji Jamari. Dia hidup tahun 1880-an. Bagaimana lelaki bernama Jamari itu sesak napas, dan mencari cara memasukkan wur (cengkeh) ke paru-parunya. Dia pun merajang cengkeh dan mencampurkannya dengan tembakau rajang yang lalu dilinting dengan klobot." Hal.179. Nah, dari sini saya baru ngeh ternyata awal mulanya kretek dibuat malah untuk membantu orang yang sesak napas.
Tradisi orang lama di masa lalu mengenai ari-ari bayi yang harus dijaga seminggu penuh pun menarik.
"Selama tujuh malam sang ayah menjaga ari-ari bayinya, bapak-bapak seputar kampung kumpul di rumah si empunya bayi baru dan lek-lek'an. Keluarga si empunya bayi wajib menyiapkan segala macam panganan dan kretek untuk warga yang datang." Hal.106.
Betapa pentingnya ari-ari bagi orang tua sehingga harus melibatkan warga kampung untuk menjaganya. Walaupun di novel juga diceritakan betapa Purwati sangat terganggu dengan tradisi itu karena orang yang bergadang selalu berisik dan asapnya bikin bayinya menangis.