Setelah seharian mengikuti Diskusi Seru Likupang-North Sulawesi: Discover The Hidden Pardise yang diadakan di salah satu hotel di Manado, sore harinya, tibalah saya dan rombongan trip jelajah Likupang diajakin ke sebuah tempat untuk menikmati makan malam.
Walaupun nama tempatnya sudah diinformasikan, saya sengaja untuk tidak mencari tahu lebih rinci. Biar semua jadi kejutan.
Berjarak 20 km dan harus melewati daerah perbukitan, setelah berjalan kurang lebih 30 menit tiba juga kami di Padie's Kimuwu, sebuah tempat wisata yang menawarkan panorama dari ketinggian yang dilengkapi dengan restoran dan kafe.
Padie's Kimuwu ini sebenarnya sudah masuk ke Kabupaten Minahasa. Tepatnya di Desa Warembungan yang ada di Kecamatan Pineleng. Dari sini, terlihat pemandangan Pulau Manado Tua hingga ke Teluk Manado. Laut terbentang dan bangunan-bangunan berjejer dengan rapi termasuk bangunan salib raksasa berwarna putih.
Selain itu, dari Padie'S Kimuwu keberadaan Gunung Klabat pun dapat dilihat terlebih jika cuaca bagus. Wah, beruntung, sore itu cuaca enak sekali. Sudah mendekati sunset dan langit cerah sehingga saya dan kawan-kawan dapat menikmati pemandangan --dan tentu saja mengambil foto banyak-banyak- sembari menunggu hidangan makan malam disiapkan.
Oleh petugas restoran, malam itu kami dipersiapkan berbagai macam hidangan laut yang disajikan secara prasmanan. Walaupun tampilannya sederhana, secara rasa, hidangannya cocok di lidah saya. Belum lagi, suasana malam itu terasa semakin syahdu dengan iringan musik dan lagu yang dinyanyikan oleh penyanyi yang biasa hadir untuk menghibur pengunjung.
DUA SITUS BUDAYA PENINGGALAN LELUHUR
Dari bangunan utama restoran, kami beranjak ke luar dan menempati meja-meja yang berada di tebing bukit. Di sini, kami dihidangkan camilan berupa pisang dan singkong goreng. Ada pula minuman jahe yang cocok banget untuk menghangatkan badan.
Kami beruntung karena saat itu pemilik Padie's Kimuwu, Abang Reinhard Wewengkang berkenan menemui dan mengajak kami berbincang.
"Butuh waktu yang lama untuk saya membangun tempat usaha di sini," ujar beliau. "Saya harus mendapatkan izin dulu dari leluhur asli Minahasa sebab di tempat ini ada dua situs budaya yang harus dijaga," lanjut beliau lagi.
Bang Reinhard lantas menunjuk sebuah bukit kecil di sisi kiri tak jauh dari area parkir.
"Nah di atas sana ada Situs Watu Marengke," infonya.
Situs Watu Marengke dipercaya sebagai tempat penghormatan kepada leluhur penghulu perang, Empung Totakal. Saat diajak untuk melihat situs itu, tampaklah beberapa batu yang dipagari oleh batang bambu.
Untuk melihat situs ini, kami diwajibkan untuk melepas alas kaki dan menjaga perilaku. Nah, dari papan informasi yang ada di sana saya baru tahu bahwa Kimuwu (berasal dari kata Kuwu) itu berarti puncak bukit atau gunung.
Di zaman dulu, oleh leluhur Minahasa, tempat ini adalah pusat pelaksanaan foso yang ditandai dengan adanya situs Watu Marengke dan Watu Siow Kurur. Di sini juga, para leluhur biasa melakukan ritual melihat bulan untuk menentukan kapan waktu yang tepat untuk bertani.
Istilah "Marengke" sendiri diambil dari gerakan tari perayaan kemenangan perang. Yang merujuk pada kaki yang digerakkan naik turun diikuti oleh tubuh yang membentuk satu gerakan khusus. Lagi-lagi ini dimaksudkan sebagai penghormatan kepada Empung Totokai sebagai penghulu perang dan penentu satu keputusan/hukum.
Di zaman tasikela atau era Spanyol/Portugis, sebelum dan sesudah perang, para leluhur Minahasa berkumpul di tempat ini dan melakukan sembahyang/semempung kepada Empung Wailan Wangko.
Sangat menarik melihat keberadaan situs ini yang ternyata sudah digunakan sejak lama oleh para leluhur, ya! Ritual lain yang juga dilakukan ditempat ini adalah Mahasa atau Maesa, yakni kanaramen/tradisi para leluhur saat menghadapi kekuatan dari luar yang mengancam kehidupan bersama. Nah, dari sini juga cikal bakal nama Minahasa itu berasal.
Setelah puas melihat Situs Watu Merengke, kami turun dari bukit dan beranjak ke samping restoran karena di sanalah situs kedua, yakni situs Watu Siouw Kurur berada. Aturannya masih sama, kami diminta untuk melepas alas kaki sebelum masuk.
Di sini, susunan batunya lebih sederhana. "Hanya" ada satu berukuran besar yang terlihat mencolok di bagian tengah. Sedangkan batu lain posisinya agak berjarak, tidak rapat sebagaimana yang kami lihat di Watu Merengke sebelumnya.
Ini tempat yang diyakini digunakan oleh Empung Siouw Kurur, leluhur yang diyakini dapat memberi tanda kematian dan kehidupan sering melakukan ritual.
Sungguh sebuah situs bersejarah yang dengan adanya restoran dan kafe, harapannya lebih banyak generasi muda yang datang, melihat dan napak tilas keberadaan situs ini sambil melihat panorama indah yang ada, ya!
Saya senang berada di tempat ini. Oh ya, bagi yang berminat datang, cukup siapkan uang Rp.15.000 untuk biaya masuk. Sedangkan makanan dan minuman dapat dipesan terpisah dan disesuaikan dengan harganya. Sebagai info, karena berada di ketinggian, hanya mobil berukuran kecil yang dapat menuju lokasi ini. Saat itu, kami menggunakan kendaraan sejenis elf. Lalu, rombongan berjumlah lebih besar yang datang menggunakan bus sepertinya harus berganti kendaraan lain sebab jalurnya cukup sempit dan terjal.
Terakhir, pastikan mengisi daya ponsel atau kamera sebelum ke sini ya! Karena pemandangannya sangat indah dan sayang jika tidak diabadikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H