"Masalahnya, aku tak bisa memijit dan benar-benar tidak pernah."
"Cobalah dulu, Mek. Kumohon." Hal.42.
Mek, sehari-hari bekerja menggarap ladang mati milik Pak Minto. Atas izin beliau, ilalang yang tumbuh meninggi di ladang itu kini berganti beraneka ragam sayur dan buah. Hasil yang didapat tidak banyak. Hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari.
Dua belas tahun menggarap ladang, hubungannya dengan Pak Minto sangat baik. Di satu sisi, Mek dan suaminya dapat mencari penghasilan, di sisi lain ladang Pak Minto dapat dimanfaatkan. Sayangnya, tibalah juga saat Mek dan suaminya untuk angkat kaki dari sana.
Ada orang yang berminat membeli lahan itu dengan harga bagus. Katanya, akan dibangun minimarket waralaba. Pak Minto memberi waktu satu-dua bulan untuk Mek dan suaminya pindah. Dan, selama persiapan kepindahan itu pula, beberapa kali Mek bermimpi memijat.
Sempat terbersit di benaknya, apakah itu jalan Tuhan untuk memberikannya pekerjaan baru. "Ia selalu menolak. Ia tidak mau menjadi tukang urut. Ia memilih menjadi buruh cuci harian ketimbang menjadi tukang urut. Baginya, pekerjaan itu lebih berwibawa. Hal.41.
Namun, tiba-tiba saja ada seseorang yang mendatangi rumahnya dan meminta urut. Orang ini mengalami sakit di bagian punggung dan di dalam mimpi, ia diberi petunjuk untuk meminta bantuan Mek.
Lantas, apakah Mek bersedia membantu orang ini? Cerpen "Mek  Mencoba Menolak Memijit" yang menjadi satu dari dua puluh cerpen yang ada di buku ini memiliki akhir kisah yang unik dan memiliki efek kejutan yang bagus. Tak heran jika cerpen ini meninggalkan kesan cukup dalam ketika dibaca.
Cerpen lain yang saya suka adalah "Durian Ayah" yang menceritakan kesabaran seorang pria dalam menanam, membesarkan dan merawat sebatang pohon durian. Untuk seorang yang bertangan dingin sepertinya, cukup mengherankan jika durian itu tak kunjung berbunga dan berbuah.
Tiap kali anak atau kerabat berceloteh dan mengusulkan agar pohon tak berguna itu ditebang, ia selalu menolak. Hingga, akhir kesabarannya dan, "Dua puluh tiga tahun durian itu tak kunjung berbunga. Setelah lebaran nanti akan kupanggil dua atau tiga orang tukang untuk menebangnya."Hal.10.
Herannya, saat hendak ditebang, pohon durian itu memunculkan putik di ujung ranting. Beliau memang urung menebas pohon itu. Namun, apakah pohon itu benar akan berbuah? Cerita pendek yang jadi pembuka ini juga memiliki akhir kisah yang cukup mengejutkan.
Begitu seterusnya Rizqi Turama lewat cerpen-cerpennya berbicara tentang tanaman, buah dan lingkungan. Saya kira, ini adalah tema besar dari buku ini walaupun ada juga beberapa cerpen lain yang rasanya tidak mengkhususkan memakai tema besar itu.
Namun, lewar cerpen "Kisah yang Sesederhana Hijaunya Pohon Ibu," atau, "Taman di Depan Rumah," atau juga, "Kenangan Pohon Rambutan," penulis berusaha mengajak pembaca untuk lebih dekat dengan tanaman-tanaman yang mungkin dengan mudah ditemukan di sekitar kita.
Dan, walaupun cerpen-cerpen itu dibuat dalam rentang waktu yang berbeda, namun dengan penyusunan buku yang apik, saya merasa beberapa cerpen di antaranya memiliki keterikatan. Bahkan, bisa jadi (dan sangat mungkin jika dikembalikan ke imajinasi pembaca) tokoh utamanya orang yang sama atau memilki hubungan satu sama lain.
Isu lingkungan yang lebih luas ditunjukkan pada cerpen "Hanya Anjing yang Buang Sampah di Sini!" atau "Para Pencuri Mangga."
Di cerpen "Para Pencuri Mangga" misalnya. Penulis berusaha menyuarakan rasa kesal anak pemilik rumah yang setiap musim mangga berbuah, maka para tetangga yang selama ini acuh mendadak ramah supaya mendapatkan limpahan hasil panen.
Saat baca cerpen ini, saya jadi terkenang sama masa lalu saat merasakan kekesalan yang sama saat para tetangga menyeruak, masuk, dan meminta mangga-mangga yang bahkan belum matang dengan alasan: ngidam hehe. Ya, perasaan saya yang dulu masih kecil tidak dapat menerima itu dengan mudah. Setidaknya seperti sekarang saat sudah dewasa.
Lantas apa gongnya dari kumpulan cerpen ini? Tentu saja cerpen berjudul "Yang Lebih Bijak Daripada Peri" yang kemudian dipilih menjadi judul buku ini. Rizqi begitu pandai meramu kisah tentang Pak Jabak, warga Parang Gardu yang diambil dari sudut pandang anaknya, Marti.
"Ia memang tidak bermimpi ayahnya jadi kelabang, tetapi menjadi keluwing kecil yang sedang disiksa, dicabik-cabik oleh kelabang-kelabang yang mengerumuninya." Hal.130.
Kenapa Marti bisa bermimpi seperti itu? Lagi-lagi ada sebuah rahasia besar yang disimpan dan dijadikan efek kejut di akhir cerita.
* Â * Â *
Sebagian besar cerpen yang ada di kumpulan cerpen ini sudah dimuat di media. Cerpen "Durian Ayah" dan "Mek Mencoba Menolak Memijit" yang sebelumnya tayang di media cetak Kompas bahkan terpilih sebagai salah satu cerpen terbaik pilihan Kompas dua tahun berturut-turut. Yakni tahun 2018 dan 2019.
Rupanya, tak harus menulis cerpen yang panjang, rumit dan bikin mumet ketika dibaca untuk dapat tembus media sekelas Kompas, ya!
Ya, cerpen-cerpen yang dihadirkan buku ini ditulis dalam bahasa yang sederhana sehingga mudah dimengerti. Terus terang, ada banyak novel dan cerpen yang tak kunjung saya selesaikan sebab rumitnya bahasa atau alur yang digunakan.
Untunglah, walaupun berbeda genre, namun saat baca kumcer ini, saya kembali merasakan nikmatnya membaca tulisan Rizqi Turama sebagaimana bukunya "Aku dan Jogja Pukul Dua" yang lebih dulu saya baca.
Skor 8,5/10
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H