Mohon tunggu...
Haryadi Yansyah
Haryadi Yansyah Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis

ex-banker yang kini beralih profesi menjadi pedagang. Tukang protes pelayanan publik terutama di Palembang. Pecinta film dan buku. Blogger, tukang foto dan tukang jalan amatir yang memiliki banyak mimpi. | IG : @OmnduutX

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Hal-hal Menarik tentang Madura dalam Buku "Madura Niskala"

23 Maret 2022   09:31 Diperbarui: 23 Maret 2022   09:39 1076
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Tidak bisa disangkal bahwa situs makam Kiai Moko telah disia-siakan pengelolanya, khususnya pemerintah daerah. Padahal, jika mau, Bhuju' Moko -begitu penduduk menyebut situs itu- sangat potensial menjadi objek wisata ziarah." Hal.17.

Jika bicara mengenai Madura, tiga hal yang mencelat langsung di pikiran saya adalah garam, sate dan dukun. Yang terakhir, konotasinya mungkin terasa negatif. Walau, harus diakui dukun/paranormal/orang pintar adalah hal umum yang biasa ditemukan di Indonesia.

Walau tidak ada kaitannya langsung dengan dunia ghoib/perdukunan, keberadaan makam-makam tua yang dikeramatkan menurut saja tak begitu saja dapat terpisahkan. Masih ada benang merahnya. Dan, lewat tulisan berjudul "Ziarah ke Masa Silam" inilah penulis Royyan Julian membuka buku kumpulan esai ini.

Di Palembang, ada sebuah situs pemakaman yang dinamakan Bukit Siguntang. Konon, yang dimakamkan di sana adalah orang-orang penting pada zaman dahulu. Masing-masing dari makam itu "dijaga" oleh juru kunci. Dan, ya, Bukit Siguntang menjadi salah satu objek wisata andalan di Palembang. Terutama bagi mereka yang gemar sejarah dan menyukai kisah-kisah di balik sosok yang ada di makam tersebut.

Desain oleh Haryadi Yansyah
Desain oleh Haryadi Yansyah

Sehingga, kegelisahan penulis terhadap potensi wisata ziarah yang ada di Madura -namun belum digarap serius, menjadi masuk akal. Apalagi jika sosok yang dimakamkan di pemakaman tersebut dapat dinarasikan dengan baik.

"Masyarakat Madura -dan tentu saja semua orang tanpa pandang bulu- membutuhkan pengetahuan faktual tokoh-tokoh historis, bukan manusia setengah dewa yang gampang menyelesaikan masalah tanpa masalah."

Di kisah yang berjudul "Kesaktian Ikan-ikan" Royyan mencoba mengangkat hubungan masyarakat Madura -terlebih yang berprofesi sebagai nelayan- dan alam (laut) yang hadir dalam tuturan turun temurun. "Khazanah oral tersebut nyaris sirna disapu zaman." Hal.65.

Kisah yang mulai digalakkan kembali ini turut menyenggol kisah-kisah nabi. Dari nabi Khaidir, Ibrahim hingga Musa yang menjadikan kisah ikan dan nelayan madura ini berlompatan melintasi zaman. Walaupun butuh konsentrasi untuk mencerna gabungan informsi yang dituliskan, saya akui Royyan melahap begitu banyak referensi untuk menulis bab ini saja.

Seperti yang saya singgung sebelumnya, dukun adalah hal yang muncul di benak saya jika bicara tentang Madura. Dan, lewat tulisan "Keluarga Paranormal" Royyan memaparkan kisah ini lewat tulisan sebanyak 23 halaman yang sepertinya jadi kisah paling panjang ketimbang kisah lainnya.

Asyiknya, tulisan ini pula yang saya suka. Sebab, selain memang yang diangkat menarik, di tulisan ini Royyan tidak terlalu banyak bermain diksi-yang-karena-keterbatasan-saya-sehingga-bikin-mengernyitkan-dahi, melainkan apa yang diceritakan disampaikan dengan sederhana sehingga semakin mudah untuk saya tangkap dan nikmati.

Kisah ini bermuara ke Raudah, ibu rumah tangga awalnya yang sebelumnya nggak punya bayangan akan menjadi "orang pintar". Cikal bakalnya pun bermula saat Raudah seringkali pingsan. Menurut ayahnya, itu pertanda bahwa Raudahlah yang terpilih untuk mewarisi ilmu sang kakek.

"...Raudah menolak mentah-mentah. Ia merasa terlalu belia untuk menjadi tabib. Berusia dua puluhan dan menyandang predikat dukun pasti terdengar nggak keren banget." Hal.78.

Namun, semakin ia menolak, semakin fatal dampaknya. Ia menjadi sakit-sakitan. Ia pun semakin sering kesurupan. Mbah Gambak, khadam (istilah yang dipakai Raudah untuk menyebut lelembut yang kerap memasukinya) sering datang dengan beragam kostum.

"Kadang memakai seragam sejolah, baju ibu-ibu, atau busana muslim. Lain kali ia menjinjing tas atau menggunakan sepatu high heels. Saya pikir ia baru datang dari arisan sosialita makhluk halus." Hal.79. Sungguh, membaca bagian ini saya ikutan tertawa geli.

Raudah kemudian memang menerima takdirnya. Tentu awalnya Raudah tidak berkoar-koar terhadap kemampuannya. Dari satu-dua orang yang ditolong, kepatenan ilmunya makin diketahui banyak orang. Kini, kliennya bukan saja masyarakat Madura, namun masyarakat luar kota yang rela datang jauh demi meminta bantuannya.

Yang menarik lagi dari tulisan ini, ialah kisah sang kakek yang dipercaya diajak oleh Mbah Gambak ke Mekah dan mengambil pusaka di salam sebuah masjid.

"Pusaka itu berupa benda kuningan dan kayu toktok terbungkus kafan. Benda kuningan berfungsi untuk mengobati orang sakit, anak sawan, mendeteksi benda hilang, atau memulihkan jiwa yang diganggu makhluk halus dengan cara mencelupkannya ke dalam air. Sementara itu, kayu toktok digunakan untuk keselamatan dan azimat.  Ketika saya ngobrol dengan Raudah, kayu itu sedang dipinjam orang untuk penglaris." Tulis Royyan di hal.83.

Ilustrasi paranormal | djawanews.com
Ilustrasi paranormal | djawanews.com

Saat saya menulis celotehan terhadap buku ini, linimasa tengah dihebohkan akan aksi sorang pawang hujan di acara MotoGP. Warganet terbelah. Ada yang menganggap itu hal memalukan, namun sebagian lagi menganggap itu bagian dari Indonesia ya yang sejak dulu sudah ada.

Saya pribadi, tidak meyakini seseorang, dengan keahlian gaibnya dapat mengatur cuaca. Namun, saya tidak juga memposisikan diri sebagai orang yang berhak menjustifikasi apalagi mengeluarkan sumpah serapah terhadapnya. Termasuk ketika saya membaca tulisan mengenai keluarga paranormal di buku ini.

Cukup saya jadikan wawasan dan ya mudah-mudahan tidak untuk dijadikan "pegangan" jika membutuhkan sesuatu di kemudian hari.

Madura Niskala, buku setebal 168 halaman ini seyogyanya dapat dinikmati dalam sekali duduk. Jelas, buku ini ditulis dengan kemampuan menulis yang baik (dan juga editing yang mantab). Pengetahuan penulis juga terasa mumpuni.

Hanya saja, ya itu, ada banyak diksi rumit yang saya temukan di buku ini. Tapi, ya itu bukan salah penulisnya hehe. Kemampuan dan miskinnya kosakata saya sebagai pembacalah yang menjadi penghambat. Walaupun di sisi lain ego saya sebagai pembaca juga hadir, "kalau pakai kata yang sederhana, pesannya bisa lebih mudah sampai nih." Hehehe.

Skor 8,5/10

Penulis bagian dari Kompal
Penulis bagian dari Kompal

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun