Asyiknya, tulisan ini pula yang saya suka. Sebab, selain memang yang diangkat menarik, di tulisan ini Royyan tidak terlalu banyak bermain diksi-yang-karena-keterbatasan-saya-sehingga-bikin-mengernyitkan-dahi, melainkan apa yang diceritakan disampaikan dengan sederhana sehingga semakin mudah untuk saya tangkap dan nikmati.
Kisah ini bermuara ke Raudah, ibu rumah tangga awalnya yang sebelumnya nggak punya bayangan akan menjadi "orang pintar". Cikal bakalnya pun bermula saat Raudah seringkali pingsan. Menurut ayahnya, itu pertanda bahwa Raudahlah yang terpilih untuk mewarisi ilmu sang kakek.
"...Raudah menolak mentah-mentah. Ia merasa terlalu belia untuk menjadi tabib. Berusia dua puluhan dan menyandang predikat dukun pasti terdengar nggak keren banget." Hal.78.
Namun, semakin ia menolak, semakin fatal dampaknya. Ia menjadi sakit-sakitan. Ia pun semakin sering kesurupan. Mbah Gambak, khadam (istilah yang dipakai Raudah untuk menyebut lelembut yang kerap memasukinya) sering datang dengan beragam kostum.
"Kadang memakai seragam sejolah, baju ibu-ibu, atau busana muslim. Lain kali ia menjinjing tas atau menggunakan sepatu high heels. Saya pikir ia baru datang dari arisan sosialita makhluk halus." Hal.79. Sungguh, membaca bagian ini saya ikutan tertawa geli.
Raudah kemudian memang menerima takdirnya. Tentu awalnya Raudah tidak berkoar-koar terhadap kemampuannya. Dari satu-dua orang yang ditolong, kepatenan ilmunya makin diketahui banyak orang. Kini, kliennya bukan saja masyarakat Madura, namun masyarakat luar kota yang rela datang jauh demi meminta bantuannya.
Yang menarik lagi dari tulisan ini, ialah kisah sang kakek yang dipercaya diajak oleh Mbah Gambak ke Mekah dan mengambil pusaka di salam sebuah masjid.
"Pusaka itu berupa benda kuningan dan kayu toktok terbungkus kafan. Benda kuningan berfungsi untuk mengobati orang sakit, anak sawan, mendeteksi benda hilang, atau memulihkan jiwa yang diganggu makhluk halus dengan cara mencelupkannya ke dalam air. Sementara itu, kayu toktok digunakan untuk keselamatan dan azimat. Â Ketika saya ngobrol dengan Raudah, kayu itu sedang dipinjam orang untuk penglaris." Tulis Royyan di hal.83.
Saat saya menulis celotehan terhadap buku ini, linimasa tengah dihebohkan akan aksi sorang pawang hujan di acara MotoGP. Warganet terbelah. Ada yang menganggap itu hal memalukan, namun sebagian lagi menganggap itu bagian dari Indonesia ya yang sejak dulu sudah ada.
Saya pribadi, tidak meyakini seseorang, dengan keahlian gaibnya dapat mengatur cuaca. Namun, saya tidak juga memposisikan diri sebagai orang yang berhak menjustifikasi apalagi mengeluarkan sumpah serapah terhadapnya. Termasuk ketika saya membaca tulisan mengenai keluarga paranormal di buku ini.