Mendengar itu saya bertanya kepadanya, "ujiannya berapa soal, Pak?"
Just it. Pertanyaan sesederhana itu. Namun, mendengarnya Pak Sapar berdiri dari kursi, berteriak, "Naaah! Ini dia contoh orang Yahudi!" ujar lantang sambil menunjuk-nunjuk saya.
Mendapati itu jelas saya kaget. Cuma nanya gitu doang loh, bukan minta jajan ke kantin saya itu. Tak sampai di situ, dia terus saja merepet panjang lebar hingga kemudian dia bertanya kepada saya. Belakangan saya kemudian paham mengapa dia menuduh saya mirip kaum Yahudi.
Sebab, dalam sebuah ayat di Alquran dikatakan ciri orang Yahudi itu ialah suka bertanya hal-hal yang suka menyulitkan diri mereka sendiri. Ya ampun, ntah saya yang salah apa beliau, kayaknya Pak Sapar ini terlalu semberono deh dalam mengartikan satu ayat di Alquran. Hiks.
Masih dengan ceramahannya, dia kembali bertanya, "memangnya kalau saya kasih soal 100 kamu sanggup, huh?"
Saya yang ikutan emosi tahu-tahu dimarahin di depan kelas gak mau tinggal diam. Pertanyaan yang dia sampaikan dengan kemarahan itu saya jawab, "ya sanggup aja, Pak."
Maksud saya  sih, berapa pun soalnya ya saya kerjakan. Apakah dalam waktu ujian semua terselesaikan atau tidak ya urusan nanti, toh?
Terus terang saya sedih dan syok. Belakangan, rupanya teman-teman sepakat melaporkan beliau ke wakil kepala sekolah. Bukan karena kejadian yang saya terima, namun soal dia memukul siswa yang kedapatan nilainya jelek.
Di satu pertemuan, dia coba mengajak kami berbicara. Menyampaikan permintaan maaf dan coba berdamai dengan kami, para muridnya. Entah karena kejadian itu atau memang ada hal lain, di semester selanjutnya beliau mengundurkan diri dan tidak lagi mengajar di SMA kami.
* Â * Â *
Kisah saya bersama ketiga guru ini tentu saja bukan untuk menafikan bahwa jasa guru begitu luar biasanya sehingga saya bisa menjadi sekarang ini. Terlepas dari gesekan dengan mereka, secara keseluruhan mereka tetap memberikan nilai yang baik kepada saya (ya tentu saja sayanya mesti belajar keras).