Dan, semakin saya menyantap buku ini, semakin banyak kejutan yang saya jumpai. Ada banyak protes soal yang Feby utarakan dalam cerpen-cerpennya. Di cerpen "Tragedi Jumat Siang" misalnya, Feby mengangkat isu di mana banyak masjid yang sengaja menutup akses jalan dengan dalih: akan digunakan untuk beribadah.
Di satu sisi, ya beribadah tentu saja ganjarannya pahala. Namun, jika dilakukan dengan cara menutup akses jalan di mana ada banyak sekali orang yang berkepentingan akan menggunakannya, apakah bijak?
Tokoh Ahmad di cerpen ini bahkan dengan mudah dicap kafir, sombong, durhaka, setan dan (calon penghuni) neraka saat mencoba bernegosiasi untuk diizinkan lewat sebab dia terburu-buru sedangkan semua akses ditutup. Namun, komentar semacam, "Enggak menghargai sama sekali! Ini Jalan sudah dikosongkan untuk ibadah." Hal.15 yang ia dapatkan.
Saya pernah menulis tulisan khusus mengenai penggunaan speaker masjid beberapa waktu lalu. Nah, soal ini juga tak luput dari Feby. Di cerpen "Rencana Pembunuhan Sang Muazin" dia mencoba menggali suara hati orang-orang yang merasa terzalimi akan penggunaan speaker masjid yang tak mengenal waktu.
"Tiap dini hari aku selalu terbangun karena suara mengaji dari musala itu."
"Ah, betul! Aku juga. Apalagi ibu kosku baru memiliki bayi, dan si bayi sering terbangun karena kaget dengan pelantang suara muasala yang keras banget itu." Hal.19.
Di cerpen lain yang berjudul "Tanda Bekas Sujud (1)" saya tertawa geli saat membacanya. Cerpen ini bercerita tentang sekelompok anak muda yang berburu tanda hitam di jidat.
"Tanda bekas sujud, itu yang dikatakan guru pengajiannya, akan didapati pada wajah mereka yang rajin shalat. Semua rekannya di kelompok pengajian itu berlomba-lomba untuk memili tanda tersebut di kening mereka." Hal.33.
Saya tertawa sebab apa yang ada di cerpen ini sangat relate dengan apa yang kawan-kawan SMA saya lakukan dulu. Mereka --yang sebagian adalah anak rohis, dengan terbuka bercerita kepada saya dan kawan lain bahwa mereka melakukan beberapa cara untuk membuat jidat mereka hitam. Salah satunya dengan "mengerok" jidat mereka dengan menggunakan logam dan batu kecil. Buahahaha.
Kritik sosial Feby terhadap pria yang melakukan perselingkuhan dengan dalih poligami juga ia tuangkan dalam cerpen berjudul "Poligami dengan Peri". Bedanya, jika di kehidupan nyata para pria busuk ini yang mencari berbagai cara untuk melakukannya, namun di cerpen ini, permintaan poligami itu datang dari sang istri.