Mohon tunggu...
Haryadi Yansyah
Haryadi Yansyah Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis

ex-banker yang kini beralih profesi menjadi pedagang. Tukang protes pelayanan publik terutama di Palembang. Pecinta film dan buku. Blogger, tukang foto dan tukang jalan amatir yang memiliki banyak mimpi. | IG : @OmnduutX

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Mengintip Panti Jompo di Luar Negeri, Apa Bedanya dengan Indonesia?

3 November 2021   16:24 Diperbarui: 4 November 2021   17:00 2313
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi aktivitas lansia sedang berlatih Brain Gym. Foto: Kompas/Lasti Kurnia

Saat berita tentang tiga anak yang memasukkan ibu mereka di panti jompo meledak seminggu belakangan, saya berusaha nahan untuk tidak terlalu banyak komentar. 

Sebab, saya, dan juga para netijen nggak tahu apa yang sebenar-benarnya terjadi pada keluarga tersebut. Persis yang diucapkan Harper Lee di novel A Kill to Mockingbird, "you never really understand a person untul consider things from his point of view. Until you climb inside of his skin and walk around in it."

Respon terbanyak yang saya lihat sih komentar netizen berupa pelabelan anak durhaka dan juga kalimat-kalimat semacam, "seorang ibu bisa membesarkan banyak anak, sedangkan anak-anak belum tentu mau merawat ibu/ayahnya sendiri."

Apa yang terjadi pada ibu tersebut miris memang. Namun, lagi-lagi terlalu gegabah jika kita melihat hal ini dari kacamata orang luar sebab saya pikir, ketiga anak tersebut pun mengambil keputusan itu tidak dengan mudah, terlebih dengan paradigma masyarakat kita yang condong mudah melabeli.

Anak aktif dilabeli sebagai anak bandel.

Orang depresi dilabeli sebagai orang yang nggak beriman.

Nah, termasuk kejadian ini yang begitu mudah orang melabeli mereka sebagai anak durhaka.

Di sosial media, walau pun yang menghujat lebih banyak ketimbang yang (berusaha) memaklumi, namun menarik jika melihat hal ini dari kedua sudut pandang. 

Di satu sumber di sosial media, saya membaca bahwa hubungan sang ibu dan anak memang tidak terlalu baik. Saya tidak tahu kebenarannya seperti apa, namun akuilah, di luar sana toxic parent itu memang ada.

Gambaran panti jompo di USA. Source image nytimes.com
Gambaran panti jompo di USA. Source image nytimes.com

Tak sedikit anak yang hidupnya tertekan karena tingkah laku dan perbuatan orang tua. Pun sebaliknya, lebih banyak lagi anak-anak yang bertingkah semena-mena terhadap tua dikarenakan hal-hal sepeleh. Dari kekerasan secara verbal/fisik, trus dalam tingkatan yang lebih tinggi yakni menyiksa bahkan membunuh. Vice versa.

Namun sekali lagi, dari hal ini, saya pribadi berusaha netral dan melihatnya dari sudut pandang yang berbeda. Bahwa, keputusan yang diambil tersebut saya yakini bukanlah keputusan yang mudah. Saya berusaha menerka hal-hal apa saja yang kemudian memaksa ketiga anak ini akhirnya mengambil keputusan demikian.


Pertama, tidak adanya kesanggupan untuk merawat. Merawat itu bukan hanya perkara "hadir" dan "ada". Salah satu anak bisa saja mengambil sang ibu untuk tinggal di satu rumah. Namun, ketika sang anak dan menantu diharuskan keluar rumah untuk bekerja, maka meninggalkan sang ibu di rumah sendirian juga bukan hal yang sepeleh.

Idealnya memang saat salah satu anak/menantu keluar rumah, ada anak/menantu lain yang menjaga. Itu ideal di mata kita. Tapi, lagi-lagi kita tak pernah tahu sebenar-benarnya kondisi ketiga anak ini seperti apa.

Kedua, merawat orang tua yang sepuh apalagi sakit-sakitan, itu butuh biaya dan mental. Mungkin... jika orang tua dirawat di rumah jompo, biaya ini akan dibagi rata oleh para anak. Tidak ada yang membebankan satu terhadap lainnya. Dan juga, merawat orang tua yang sepuh itu butuh mental yang stabil.

Untuk anak-orang tua yang hubungan senantiasa harmonis pun saya rasa, celah lelah terbuka lebar. Apalagi jika sebelumnya hubungan orang tua dan anak sudah tak harmonis dikarenakan banyak sebab. Terlepas keterikatan darah daging, hidup bersama orang yang membuat tidak nyaman itu satu tantangan tersendiri.

Ketiga, menyerahkan ke panti jompo bukan berarti melepas sepenuhnya. Hal ini kembali lagi pada niat sang anak. Apakah tujuan utama mereka menitipkan orang tua ke panti jompo. Idealnya, jika terdapat kesepakatan antara orang tua dan anak, atau katakanlah kerelaan orang tua untuk dititipkan di panti jompo, harapannya, anak secara berkala memantau secara langsung perkembangan orang tua yang dititipkan di sana.

Potret panti jompo di Indonesia. Jelas butuh perhatian yang jauh lebih besar dari pihak terkait. Source image Kompas
Potret panti jompo di Indonesia. Jelas butuh perhatian yang jauh lebih besar dari pihak terkait. Source image Kompas

Terlebih jika menyangkut kesehatan sang orang tua. Ada orang tua yang sejak awal memilih tinggal di panti jompo sebab mereka lebih kerasan karena di panti mereka ketemu dengan banyak orang sehingga lebih terhibur dan di sana juga ada petugas yang memantau dan merawat mereka 1x24 jam.

Menurut saya, panti jompo ini tak ubahnya dengan rumah sakit. Hanya memang secara durasi lebih lama. Jika di RS para lansia yang butuh perawatan kesehatan biasanya akan sembuh dan diizinkan pulang dalam waktu beberapa hari/minggu, di panti jompo, waktunya lebih banyak lagi.


Kesepakatan adalah kunci. Jika orang tua menolak ditempatkan di panti jompo (dan memilih memaksa untuk tetap di rumah walau sendirian), sebaiknya para anak juga mempertimbangkan. Sebab, jangan sampai orang tua merasa DIBUANG. Sebab, pikiran yang stres lebih mudah memunculkan penyakit. 

Dengan demikian, sang anak harus mencari cara lainnya untuk mendapatkan win win solution. Misalnya saja mencari seseorang yang bersedia menemani dan merawat orang tua di rumah. Memang tak sepenuhnya ideal di kedua sisi, namun meminimalisasi segala hal yang negatif harus dijadikan prioritas.

MENGINTIP FASILITAS YANG ADA DI PANTI JOMPO

Pernah menonton film I Care A Lot? Film thriller yang dibintangi oleh Rosamund Pike ini bercerita tentang seseorang yang mengincar para lansia, merebut kekayaannya dan memindahkan lansia ini ke nursing home atau panti jompo.

Di film itu, cukup banyak digambarkan kehidupan para lansia di panti jompo. Sehari-hari mereka disiapkan makanan, diajak bergembira dan berkegiatan agar tidak bosan, dijaga waktu istirahatnya dan diperhatikan penuh kesehatannya dengan adanya tenaga medis yang siap mengontrol kesehatan masing-masing penghuni panti.

Saat tiba di panti jompo. BTS film I Care A Lot. Source image IMDB
Saat tiba di panti jompo. BTS film I Care A Lot. Source image IMDB

Di drama korea The Light in Your Eyes pun dibahas penuh kehidupan sebuah panti jompo di mana bintang muda bersinar Nam Joo-Hyuk dikisahkan bertugas sebagai penghibur di panti jompo sekaligus turut merawat para lansia yang ada di sana.

"Itu mah di luar negeri, di Indonesia panti jompo itu menyedihkan!"

Eh siapa bilang? Di Palembang misalnya, ada satu panti jompo yang bernama Panti Werdha Dharma Bakti yang secara fasilitas dan penanganan cukup baik. Hal ini dapat dilihat dari unggahan video di akun instagram milik Anne Avantie.

Kalau bicara soal isi hati, tentu saja mayoritas lansia jelas ingin menghabiskan waktu tua mereka di tengah keluarga yang hangat dan penuh perhatian. Namun, tak semua lansia beruntung mendapatkannya. Dan, ketimbang mereka hidup lebih susah di rumah atau saat tinggal bersama anak, memilih tinggal di panti jompo tentu saja jauh lebih baik.

Kegiatan lansia di panti jompo yang ada di Korea Selatan. Source image Asianwiki
Kegiatan lansia di panti jompo yang ada di Korea Selatan. Source image Asianwiki

Sering liat kan ada lansia yang hidup sebatang kara, mau ngapa-ngapain aja udah susah, bahkan saat meninggal dilalui dengan sepi dan tanpa ada yang mengetahui. Bandingkan jika mereka tinggal di panti jompo yang tentu saja lebih bagus buat mereka.

Di Jepang, proporsi orang berusia 65 tahun atau lebih ternyata cukup tinggi yakni 28,7% dari total populasi di negara tersebut. Dan, proporsi orang tua di Jepang adalah yang tertinggi di dunia. Saya pernah dengar bahwa para lansianya lebih memilih untuk tinggal dan menghabiskan masa tua di panti jompo.

Jangan sampai hal ini tejadi lagi. Sumber Kompas
Jangan sampai hal ini tejadi lagi. Sumber Kompas
Saya tidak tahu gimana kehidupan bermasyarakat di sana. Mungkin hal ini lumrah dilakukan sebab anak-anak para lansia ini tidak harus pusing menghadapi stigma "anak durhaka" dari masyarakat. Pun, kesadaran mereka bahwa memang lebih baik tinggal di panti jompo dengan segala fasilitas yang ada sebagai bentuk win-win solution terhadap kehidupan anak yang mungkin tak memungkinkan untuk merawat penuh setiap harinya.


Kembali lagi ke panti jompo yang ada di Indonesia, saya kira sebagaimana fasilitas umum lainnya kayak sekolah atau rumah sakit, ada harga ada rupa. Pun termasuk kemampuan pihak keluarga mau menitipkan orang tua mereka di panti jompo dengan kualitas memadai atau seadanya, tergantung besaran biaya yang mereka siapkan.

Apakah tidak ada panti jompo yang gratis?

Tentu saja ada. Tapi jelas jumlahnya terbatas dan saya tidak yakin tersedia di semua kota. Untuk itulah, melalui kejadian ini kita dapat menggaungkan ide agar pemerintah lebih memperhatikan prihal keberadaan panti jompo ini.


Di Amerika Serikat, pemerintahannya bahkan menyediakan tempat khusus bagi orang-orang yang terkena kekerasan dalam rumah tangga (sebagaimana yang diperlihatkan dalam serial Maid). 

Jelas untuk para lansia mereka memiliki. Nah, semoga Indonesia ke depan lebih banyak lagi memperhatikan hal ini agar tidak ada lagi cerita para lansia yang hidup sebatang kara dan meninggal dalam kesendirian (ironisnya baru diketahui setelah beberapa hari misalnya).

Jika nanti Indonesia memiliki fasilitas panti jompo yang jempolan, maka stigma anak durhaka bagi mereka yang menitipkan orang tua di panti jompo perlahan akan mengikis. Yang ada malah kesan baik yang ditonjolkan bisa jadi nantinya.

Para orang tua yang hidup bersama anak yang super sibuk memiliki opsi lain untuk dapat tinggal di satu tempat dengan lebih baik, secara fisik dan mental. Fisik mereka dijaga kesehatannya, dan secara mental mereka senang bisa berkumpul dengan rekan sebaya dan dapat bercerita/berkeluh kesah satu sama lain.

Akhir dari tulisan ini sih, menurut saya tetap kita tidak dapat menjustifikasi dengan mudah keputusan yang diambil oleh orang terhadap pihak keluarga. Saya berusaha melihatnya dengan sudut pandang yang lebih luas.

Saya tidak mau ikutan latah mencap mereka sebagai anak durhaka atau anak yang tak berbakti terhadap orang tua, walaupun di sisi lain, saya tidak pernah membayangkan kedua orang tua saya di masa tuanya, dengan kondisi serba keterbatasan nantinya (walau saya berdoa mereka tetap sehat dan kuat nanti di masa tua) hidup terpisah dari saya, atau dari saudara-saudara saya. Bukan karena saya takut dicap sebagai anak durhaka, namun merawat dan menjaga itu datang dari kerelaan dan ketulusan hati.

kompal-2-618254a706310e1b4528f942.png
kompal-2-618254a706310e1b4528f942.png

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun