Mohon tunggu...
Haryadi Yansyah
Haryadi Yansyah Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis

ex-banker yang kini beralih profesi menjadi pedagang. Tukang protes pelayanan publik terutama di Palembang. Pecinta film dan buku. Blogger, tukang foto dan tukang jalan amatir yang memiliki banyak mimpi. | IG : @OmnduutX

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Berkah Green Card dan Kisah Hidup di USA dalam Buku "This is America, Beibeh!"

21 Oktober 2021   10:14 Diperbarui: 21 Oktober 2021   10:24 471
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana Virginia, USA. Source image https://scottgarnett.com/

Butuh waktu 8 tahun untuk Mbak Dian berfikir untuk hijrah/berpindah dari Indonesia ke Amerika Serikat menyusul suaminya yang lebih dulu menjadi imigran di sana. Kegalauan itu dapat dipahami, sebab di Indonesia Mbak Dian sudah hidup mapan dan nyaman bersama kedua anaknya yang masih kecil.

"...kenapa semua aku enggan pindah ke AS. Aku sebelumnya sudah mendengar dari cerita suami, bahwa hidup di AS sebagai imigran, sangatlah keras, dan mungkin ijazah yang cuma lulus S1 di Indonesia, tidak akan diakui ketika kita mencari pekerjaan. Karena itu, kebanyakan orang Indonesia bekerja sebagai tenaga kasar atau buruh." Hal.xiv.

Namun, akhirnya Mbak Dian memilih untuk pindah karena mendapatkan lotere green card yang diadakan oleh Kedutaan Besar Amerika Serikat. Bagi banyak orang, mendapatkan green card adalah satu hal yang diimpikan sebab akan mendapatkan status permanent resident sehingga boleh bekerja dan berkegiatan secara legal laiknya penduduk lain di sana (hanya tidak dapat ikut pemilu aja).

"Awal hidup di AS penuh tekanan batin dan keterkejutan karena melihar semua serba asing. Tapi, ketika mendengar pengakuan anak-anak bahwa mereka lebih senang sekolah di AS, maka sedikit demi sedikit aku menyisihkan ego pribadi dan berusaha menyesuaikan diri dengan kehidupan ala Amerika." Hal xv.

Mbak Dian dan keluarga hidup di Virginia, sekitar 15 menit dari Washington DC, ibukota Amerika Serikat. Dan, benar saja, untuk menyokong kehidupan, beliau memilih untuk bekerja apa saja. Pekerjaan pertama yang beliau dapatkan ialah sebagai karyawan di perusahaan ritel.

Suasana Virginia, USA. Source image https://scottgarnett.com/
Suasana Virginia, USA. Source image https://scottgarnett.com/

Mbak Dian yang tadinya sudah menjadi pegawai pimpinan di Indonesia, kini menjadi pegawai biasa yang harus mengerjakan apa saja, sesuai instruksi manager di sana misalnya saja menjadi helper bagi calon pembeli (menemani mereka dari pintu masuk, memilih barang hingga pembayaran) termasuk harus mengupas berkarung-karung jagung di gudang.

Dari beberapa buku yang saya baca tentang kehidupan di Amerika Serikat, ada satu hal yang mengubah paradigma saya terhadap orang-orangnya. Dulu, saya kira orang Amerika itu kebanyakan cuek, kasar dan rasis. Namun, faktanya orang-orang di Amerika (yang kebanyakan juga pendatang) sangat ramah dan menjunjung tinggi kesetaraan.

Apa pun bentuk tubuhmu (mau gendut, kurus, tinggi, pendek) atau latar belakang kehidupanmu, semua dilakukan setara. Seorang manager di sana pun bahkan tak segan turun ke lapangan, memeriksa langsung atau bahkan menangani langsung kesulitan yang dihadapi oleh konsumennya.

Namun, namanya juga bekerja dan bersinggungan dengan banyak orang, tentu gesekan juga tak selamanya dapat dihindari. Di kisah "Miss Lawyer Chocking the Corn" diceritakan bahwa Mbak Dian jadi bahan omongan sebab di Indonesia dia seorang pengacara namun saat di Amerika "hanya" jadi pengupas jagung.

"Rupanya mereka bergunjung, dan besoknya, beberapa dari mereka bermuka tidak ramah, malah dengan nada mengejek menyapaku, miss lawyer chocking the corn, ha? Kalau aku lulus kuliah lawyer, aku tak mau kerja begini." Hal.23 yang langsung dijawab oleh Mbak Dian, "...sebagian dari kalian juga imigran yang melulu cari makan di sini, sebagian dari kalian adalah imigran yang sedang studi di sini. Jadi, apa masalahnya kalau aku lulusan sekolah hukum dan sekarang chocking the corn? Bagi aku sendiri, ini bukan masalah." Hal.24.

Terlepas dari peristiwa itu, Mbak Dian kemudian keluar sebab mendapatkan pekerjaan baru di kedai burger yang berada di salah satu kampus. Di sana, kehidupan gambaran pekerja di Amerika Serikat lebih banyak saya dapatkan. Walaupun pekerjaannya cukup berat (karena jangan harap kerjanya leha-leha kayak kalau kerja di sebagian tempat di Indonesia), namun nilai-nilai kebersamaan antar imigran banyak terlihat di sini.

Di buku setebal 300 halaman ini Mbak Dian juga banyak bercerita tentang kehidupan dua anaknya yang saat pindah ke Amerika Serikat masih setingkat sekolah dasar. Informasi tentang pendidikan di sana juga banyak dibahas di buku ini. Lagi-lagi soal kesetaraan.

"Mereka masuk ke sekolah ini tanpa seleksi tertentu, sehingga benar-benar terasa keberagaman yang ada. Tentu saja ini kalah hebat dengan sekolah-sekolah internasional di Indonesia, murid-muridnya tentu adalah orang-orang kaya semua." Hal 253.

Perhatian pemerintah US terhadap anak-anak imigran ini juga tinggi. Untuk memudahkan mereka menerima pembelajaran, anak-anak imigran dimasukkan dalam kategoi LEP (Limited English Proficient) dan mendapatkan kursus bahasa Inggris tiap hari di sekolah. Mereka akan dikelompokkan berdasarkan kemampuan bahasa Inggrisnya saat pertama datang.

Air terjun Niagara, salah satu kawasan wisata yang didatangi. Source image niagarafalltourism.com
Air terjun Niagara, salah satu kawasan wisata yang didatangi. Source image niagarafalltourism.com

"Para imigran yang sudah lama tinggal di sini mengatakan bahwa anak-anak yang sekolah dan mendapatkan kursus bahasa Inggris, nantinya pasti jauh lebih pintar daripada orang tuanya." Dikutip seperlunya dari halaman 265.

Dan, itu benar jadi nyata, saat Mbak Dian dipanggil ke sekolah di waktu pembagian rapot, Alma, anak bungsunya malah bertindak sebagai interpreter dalam komunikasi yang seharusnya hanya terjadi antara orangtua dan guru itu hehe. Untungnya, sang guru kasih izin sebab Alma adalah murid yang sangat cerdas dan nilainya pun bagus.

Oke, ngomongin Amerika Serikat juga belum lengkap kalau nggak ngebahas tentang alam dan wisatanya ya. Nah, di buku ini juga ada bab khusus yang menceritakan soal itu. Tak melulu yang indah-indah, namun saat terjadi badai besar dan cara mereka menghadapinya juga diceritakan dengan baik di buku ini.

Wah, This is America, Beibeh sungguh buku yang menyenangkan. Siapa sangka, buku ini adalah kumpulan cerita Mbak Dian yang sebelumnya dibagikan di laman sosial medianya. Tak heran jika bahasanya pun ringan dan nggak berbelit-belit. Yang jelas, setelah baca buku ini, saya makin kepincut untuk datang ke Amerika Serikat haha. Ya, syukur-syukur kalau bisa dapetin green card juga, eh. Hehehe.

Itu sederet keunggulan buku ini. Jika mau senggol sedikit mana yang kurang, menurut saya ada pada layoutnya. Ntah kenapa layouternya nggak pakai rata kiri-kanan untuk buku ini sehingga terlihat berantakan. Beberapa typo juga masih ditemukan dan menurut saya kavernya kurang nendang. Tapi, terlepas dari itu, lagi-lagi, This is America, Beibeh adalah buku yang menyenangkan untuk dibaca. Dan, semoga kelak Mbak Dian akan menerbitkan sekuelnya.

Skor 8,7/10

Penulis bagian dari KOMPAL
Penulis bagian dari KOMPAL

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun