Bisa keliling dunia dan menjelajahi tempat-tempat baru bisa jadi impian sebagian besar dari kita. Saya mengenal beberapa orang yang anak rumahan banget dan tidak tertarik untuk traveling sama sekali.Â
Tapi, kawan-kawan saya yang gemar berpetualang jauh lebih banyak. Saya sendiri, dapat dikatakan termasuk ke dalam orang-orang yang suka melakukan perjalanan.Â
Dua buku saya yakni Modal Ngeblog Bisa Sampai Yurop dan yang terakhir Yatra & Madhyaantar adalah hasil dari perjalanan yang pernah saya lakukan.
Namun, apa jadinya jika perjalanan itu dilakukan dengan cara bersepeda?
Di Indonesia, bisa jadi sudah banyak pula orang yang melakukannya. Namun, yang kemudian merangkum pengalaman itu ke dalam bentuk sebuah buku, saya hanya mengenal satu nama, yakni Om Bambang "Paimo" Hertadi Mas, yang sehari-hari bekerja sebagai pimpinan di perusahaan penghasil peralatan olahraga.
Nah, di buku Bersepeda Melintasi Benua, Merambah Dunia ini Om Paimo bercerita jika kegemarannya bersepeda tidak ujug-ujug hadir dalam hidupnya. Beliau sudah memulai itu sejak lama, yakni sejak bersekolah di kota kelahirannya, Malang. Nah, saat berkuliah di ITB Bandung, kegemarannya bersepeda semakin kuat. Setelah puas menjelajahi banyak tempat di Pulau Jawa, Om Paimo menetapkan sebuah target yakni melakukan perjalanan kurang lebih 1500 km dari Bandung hingga ke Sumbawa Besar, NTT.
Tak hanya bersepeda, beliau juga gemar mendaki gunung.
"Sampai saat ini (2016) sudah 67 gunung yang saya daki; 11 di antaranya saya raih puncaknya dengan mengayuh --dan kadang memanggul, sepeda." Hal.13
Hebat, sebab gunung yang berhasila taklukkan bukan sembarang gunung. Melainkan gunung-gunung tertinggi yang ada di tiap benua misalnya saja Everest di Nepal dan Kilimanjaro yang ada di Tanzania, Afrika Timur. Nah, berbeda dengan buku pertamanya Bersepeda Membelah Pegunungan Andes (2012) yang lebih fokus di satu destinasi, di buku ini, Om Paimo menceritakan petulangannya ke beberapa negara dan benua, misalnya saja ke Gurun Gobi, ke beberapa negara di Asia Tenggara, Australia, Eropa hingga ke Australia dan Selandia Baru.
Ada banyak sekali suka duka yang dibagikan. Yang saya paling salut sih ketahanan fisiknya ya. Menembus cuaca panas yang ekstrim atau juga cuaca dingin yang membekukan. Belum lagi jika saat di perjalanan sepeda kemudian rusak, entah itu ban bocor, rantai putus atau tempat penyimpanan robek. Semua harus diatasi seorang diri.
Hampir tiap malam, Om Paimo akan berkemah di mana saja. Jika kebetulan sedang menembus jalanan di perkebunan sawit, maka di sanalah dia akan bermalam. Untuk saya yang penakut ini, nggak kebayang ya, jika menginap di tengah hutan dengan segala macam ancaman yang menghadang. Ntah itu setan, binatang buas atau bahkan perampok.
Jika beruntung, Om Paimo akan menumpang bermalam di perkarangan rumah penduduk. Di sini juga banyak kisah harunya, misalnya saat dijamu penduduk lokal yang tak berpunya, dia dihidangkan sepiring nasi dan sebutir telur rebus. Rupanya, telur rebus itu harus dibagi tiga dan dimakan bersama dengan pemilik rumah. Salut, di tengah keterbatasan mereka, tapi tetap saja upaya menjamu tamunya diacungi jempol.
Kendala bahasa juga pernah berujung petaka. Saat menumpang di perbatasan kebun seseorang di pedalaman Thailand, tiba-tiba dia didatangi pria-pria yang membawa senjata tajam.
"...tiba-tiba muncul sebuah mobil bak terbuka yang disesaki orang-orang dengan parang dan pentungan kayu di tangan. Mereka beramai-ramai turun dari mobil dengan wajah tegang serta sorot mata menunjukkan ketidaksukaan.Â
Jantung berdegup kencang." Hal.143. Rupanya, orang-orang ini beranggapan Paimo adalah musuh teman mereka, si pemilik lahan. Setelah dijelaskan, barulah orang-orang itu melunak. Untung nggak keburu kena bacok, kan?
Di lain waktu, saat Om Paimo berkemah di sebuah reruntuhan di tengah ilalang, dia juga hampir kena sasaran penjahat. Beruntung saat intuisinya mengatakan ada satu yang tidak beres, beliau bergegas merapikan tenda dan bersembunyi di antara kegelapan. Ini salah satu episode menegangkan.
Apa sih bedanya berkendara di negara berkembang dan maju? Tentu saja infrastruktur. Negara maju biasanya memiliki jalanan yang mulus. Namun, di sisi lain, ketatnya peraturan juga menyulitkan. Tidak sembarang area dapat digunakan untuk mendirikan tenda. Berbeda dengan negara berkembang yang rasanya tak banyak aturan.
Oh ya, pengalaman beliau menembus perbatasan juga tak kalah menarik. Kadang dipersulit petugas, namun juga dipermudah karena banyak yang penasaran dengan perjalanan bersepeda yang dia lakukan.Â
Intinya, jika dibandingkan dengan perjalanan beliau, rasanya perjalanan yang saya lakukan belum ada apa-apanya. Bukan bermasuk mau membandingkan juga, dengan mengatakan gaya A lebih bagus dari gaya B saat traveling, namun yang jelas, dengan bersepeda dan menembus jarak ribuan kilometer dalam sekali petualangan (biasanya dilakukan 1 hingga 2 bulan), jelas Om Paimo pengalamannya jauh lebih kaya.
Salah satu buku traveling yang sayang jika dilewatkan.
Skor 8,7/10
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H