Saat menempuh pendidikan teknik di perguruan tinggi, Kabul adalah aktivis yang vokal mengkritik penguasa. Hebatnya, setelah lulus dan menjadi insinyur, Kabul tetap teguh dengan pendiriannya terlebih saat dia dipercayai memimpin pembangunan sebuah jembatan yang melintasi Sungai Cibawor.
Di sana, tinggal di mess pekerja bersama dengan pegawai lainnya. Kegiatannya ya seputar mess dan lokasi proyek. Kadang-kadang, saat suntuk dia berjalan menyusuri sungai dan di sana pulalah untuk pertama kalinya dia berkenalan dengan Pak Tarya, pensiunan pegawai Kantor Penerangan yang gemar memancing dan memainkan seruling.
Di perjumpaan-perjumpaan itulah Kabul sering melemparkan keluh kesahnya, terlebih tentang dana proyek yang disunat sana-sini sehingga mengancam proyek yang ia pimpin. Dia khawatir, mutu jembatan akan menjadi korban, dan keinsinyuranya pun jadi pertaruhan.
Kabul mendapatkan "serangan" bertubi-tubi. Pertama dari atasannya yang culas dan membalas dendam kemiskinan dengan cara yang salah. Iya, bosnya -Dalkijo dulu hidup melarat. Sayangnya, dia membalas kemelaratan itu dengan hedonisme. Tiap kali mendapatkan proyek pemerintah, dia akan mengganti motor harleynya dengan seri terbaru.
Lalu, ada pula Basar, kawan satu angkatan yang sesama aktivis. Sejak terpilih sebagai Kades, Basar mulai tergerus integritasnya. Dia tak mampu melawan, sebab, sebagai pimpinan dia juga kader Partai Golongan, yang mana dengan sengaja menekannya, meminta penyelenggaraan ulang tahun partai dibuat sedemikian megah. Lantas, dananya dari mana? dari proyek.
Belum lagi tekanan-tekanan lain, sesederhana permintaan sumbangan masjid yang ketika ditolak oleh Kabul, dia dengan mudah dicap tidak bersih dan dikaitkan dengan 'Bersih Lingkungan'. Sungguh mengerikan.
"Yang jelas bagiku kecurangan besar maupun kecil yang terjadi di proyek ini pasti akan mengurangi tingkat kesungguhan, bahkan mengkhianati tujuan dasarnya. Dan hatiku tak bisa menerimanya." Hal.39.
Berbagai macam hambatan harus Kabul hadapi. Baik internal ataupun eksternal. Di lain waktu, dia diamuk oleh seorang pria tua yang menganggap anaknya jadi korban tumbal proyek.
Anaknya yang bekerja di sana seminggu tak pulang dan dia memaksa Kabul mau membongkar tiang pancang untuk menemukan jasad anaknya.