Tokoh yang namanya kini diabadikan menjadi sebuah nama RS di Jakarta ini bersama Ernest Douwes Dekker dan Ki Hajar Dewantara dikenal sebagai tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia yang kemudian dikenal "Tiga Serangkai". Dia adalah tokoh dalam Indische Partij, sebuah organisasi politik yang mencetuskan ide pemerintahan tersendiri langsung di tangan penduduk bukan oleh Belanda. Dikarenakan hal ini, di tahun 1913 dia dan dua rekannya diasingkan ke Belanda dan baru kembali 4 tahun kemudian.
Ki Hajar Dewantara (1889-1959)
Bernama asli Raden Mas Soewardi Soerjaningrat, ini dia sosok yang kita kenal sekarang sebagai pelopor pendidikan di Indonesia karena selama hidupnya Ki Hajar Dewantara berjuang keras terhadap nasip pendidikan kaum pribumi sejak zaman penjajahan Belanda. Ia juga pendiri Perguruan Taman Siswa, yang memberikan kesempatan pribumi untuk mendapatkan pendidikan setara kaum priyayi.
Douwes Dekker
Douwes Dekker adalah nama keluarga Belanda yang merupakan gabungan klan Douwes dan klan Dekker. Di Indonesia, ada 2 tokoh dengan nama belakang sama yang memiliki peranan penting bagi Indonesia. Yang pertama, Eduard Douwes Dekker (1820-1887) seorang sastrawan yang dikenal dengan nama Multatuli yang telah menulis novel fenomenal berjudul Max Havelaar yang berisi kritik atas perlakuan buruk penjajah.
Ernest adalah peletak dasar nasionalisme Indonesia di awal abad ke-20. Dia juga adalah sosok di balik gagasan nama "Nusantara" sebagai nama untuk Hindia Belanda yang merdeka (walaupun kelak nama negara kita bernama Indonesia). Dibandingkan semua temannya di Tiga Serangkai, Ernest meninggal di usia yang cukup tua, yakni 70 tahun dan dimakamkan di Bandung.
Jangan Melupakan Sejarah
Tak ingat detail sebuah peristiwa bersejarah menurut saya beda dengan "melupakan sejarah". Sekali lagi, kapasitas ingatan kita terbatas. Kita bahkan belum tentu mengingat jelas apa yang terjadi kemarin. Jadi, kalau ada peristiwa penting terkait bangsa dan negara yang kita tak ingat jelas detailnya, menurut saja wajar.
Namun, beda halnya jika kita melupakan sejarah. Nah, menurut saja, melupakan sejarah indikasinya dapat terlihat saat ada orang (atau bahkan kita sendiri) yang tak lagi mencintai negeri ini sebagaimana mestinya. Alih-alih memberi dukungan atau memberikan kritik yang membangun, yang ada malah mencela dan mengutuk hal-hal yang terjadi sekarang, salah satunya saat penanganan covid-19.
Tak ada yang sempurna dari sebuah kebijakan, namun, saya pribadi yakin bahwa terlepas dari ketidakidealan di mata kita, pemimpin di atas sana sudah berbuat sesuatu untuk mengatasi semua permasalahan. Ketimbang misuh-misuh, mending berdoa mumpung Ramadan masih berlangsung secara jika sudah lebaran ya keutamaan berdoa di Ramadan akan hilang. Gak kerasa, Lebaran Sebentar Lagi!