Dulu saat masih tinggal di rumah lama, sebuah rumah panggung khas Palembang, ada satu kebiasaan yang dilakukan orang tua saya menjelang lebaran. Tepatnya di malam takbiran di hari terakhir ramadan. Apa itu? Memasang ambal atau karpet di ruang tamu.
Saya masih kecil. Alih-alih ngebantu yang ada saya malah ngeretokin. Tapi, ingatan samar-samar akan kegiatan itu membekas hingga sekarang. Maklum, usia saya belum juga 5 tahun dan tak lama kemudian atas dasar kesehatan dan keselamatan (karena rumah ini satu area dengan depot kayu, usaha milik ayah), kami pindah ke rumah baru, ke sebuah perkampungan yang letaknya tak jauh dari situ.
Di rumah baru, kegiatan memasang ambal ini tak lagi dilakukan di malam takbiran namun dua atau tiga hari sebelumnya sudah dilakukan. Kenapa? Soalnya, di lokasi sekarang, nggak khawatir lagi ambalnya dihinggapi debu halus hasil suguhan kayu hehe.
Kebiasaan Bersih-bersih Lebaran Ala Tradisi Oosuouji di Jepang
Bersih-bersih rumah ya tiap hari dilakukan oleh ibu atau mbak di rumah. Minimal lantai disapu dan dipel setiap hari. Rumah senantiasa bersih itu adalah koentji.Â
Alhamdulillah, saya juga sejak kecil sudah dibiasakan untuk lakukan pekerjaan rumah. "Ntar kalau merantau nggak kaget," ujar ibu. Hehe, walaupun sampai sekarang masih di rumah aja, yang jelas didikan beliau sangat bermanfaat.
Nah, saat menjelang lebaran kayak gini rumah biasanya dibersihkan lebih ekstra. Beberapa hal bahkan memang sengaja dilakukan hanya setahun sekali. Persis tradisi Oosuouji yang ada di Jepang. Bedanya, jika di sana, tradisi ini dilakukan mendekati awal tahun yang jatuh di musim dingin.
Nah, di rumah kami, ada bagian-bagian yang dibersihkan ya hanya saat menjelang lebaran. Diantaranya ialah mencuci gorden atau tirai. Nah, biasanya tirai itu ada 2 lapisan ya?Â
Satu yang berwarna putih dan satunya lagi yang memiliki corak dan warna yang lebih mencolok. Menjelang lebaran, ibu biasanya mulai mencicil mencuci bagian-bagian tirai ini.
Untuk yang warna putih seingat saya nggak setahun sekali juga. Tapi kalau gorden lapisan luarnya iya hanya setahun sekali karena lumatan effort kalau harus menurunkannya satu demi satu. Nah, saat mencuci tirai ini secara otomatis ventilasi di area kusennya juga dibersihkan.
Selebihnya, rumah dibersihkan seperti biasa, namun lebih ekstra dan benda-benda harian seperti kipas angin, kendaraan pun biasanya saat lebaran harus tampil kinclong! Hehe.
Saat Bujangan Beraksi
"Makanya cari istri dong biar ada yang ngerapiin kamar," ujar sepupu saya satu kali pas datang di saat kamar berantakan.
"Ya ampun, ribet amat bersihin kamar aja mesti cari bini dulu!" jawab saya sekenanya. Hehe, walaupun kelak punya istri dan dia bantu-bantu membersihkan kamar, saya pribadi sadar bahwa nggak ada satu jenis pekerjaan di rumah hanya hanya dapat/boleh/harus dilakukan salah satu saja.
"Cuci piring, menyapu, mengepel dan masak itu kerjaan istri. Cuci kendaraan, perlistrikan itu kerjaan suami." Bah! Rumah tangga macam apa itu? Untungnya sejak kecil saya udah biasa ya melihat orang tua saya kerjasama melakukan pekerjaan rumah. Yeah, walaupun ayah jarang mencuci piring atau pakaian, tapi dia gak sungkan turun ke pasar dan berbelanja.
Even mereka ke pasar bersamaan, demi efektifias waktu, mereka akan bagi tugas, yang satu ke area daging/ikan, yang satu ke area sayur dan buah. Praktis! Pun, ayah saya juga sesekali bereksperimen di dapur. Nah, melihat kebiasaan ini, saya bersyukur hal-hal seperti itu menurun ke saya.
Kenapa? Soalnya banyak barang yang dirapikan sekenanya sehingga saya susah mencarinya haha. Jadilah, setidaknya seminggu sekali di hari Minggu, saya akan membersihkan kamar sendiri.
Menjelang lebaran gini, tradisi Oosuoji juga berlaku di kamar saya. Area yang biasanya jarang tersentuh kemoceng, elap dan sapu, biasanya akan dibersihkan secara khusus.Â
Dari membersihkan lemari buku dan cinderamata, menata ulang lemari pakaian (sembari sortir juga, mana yang gak kepakai maka dapat disumbangkan atau dijadikan elap), membersihkan kamar mandi, menata ulang beberapa perabotan termasuk membersihkan kipas angin saya lakukan secara bertahap mengingat kamar saya banyak sekali barang.
Jepang emang terkenal dengan konsel hidup minimalisnya. Filosofi ajaran Buddhism Zen berupa "Less is More" juga menjadi tren. Selain Marie Kondo, penulis Fumio Sasaki juga menulis "Goodbye, Things: Hidup Minimalis ala Orang Jepang." Intinya, gaya hidup semacam ini betul-betul selektif jika harus memiliki barang.
Bagus sih walau menurut saya, apapun yang bagus jika dilakukan berlebihan ya susah. Misalnya, saya bujangan, hidup sendiri, hanya perlu idealnya 1 sd 2 gelas saja. Eh tiba-tiba ada temen datang 5 orang, mbok ya gak mungkin saya ke tetangga dan pinjam 3 gelas lagi, kan? hehe. Walau saya menumpuk banyak barang (buku dan majalah) tapi untuk barang-barang lain biasanya akan saya sortir.
Saya gak mau juga kena penyakit psikologis Hoarding Disorder yang sukanya menumpuk barang. Perasaan semacam, "simpen aja ah, siapa tahu nanti berguna" yang berlebihan sehingga tahu-tahu kediaman tempat tinggal sudah berubah kayak area pembuangan sampah. Mengerikan!
Di Youtube banyak sekali tayangan prilaku extreme hoarding disorder ini. Saya suka nontonnya dan melihat ekspresi pemilik rumah yang stres sekali rumahnya dibersihkan itu jadi bikin saya nano-nano! Di satu sisi itu baik buat mereka, di sisi lain, pasti mereka akan merasa tersiksa sekali.Â
Oke sip, masih ada beberapa hari menjelang lebaran, yuk bersih-bersih rumah! Minimal, ya kamar pribadi kamu sendirilah hehe.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H