Hampir semua penduduk kampung Naga Pesolek mengenal Pak Manto. Beliau adalah salah satu sosok yang dituakan di kampung. Sehari-hari ia bekerja sebagai pedagang sayur dan sembako bersama Ijah, istrinya.Â
Warung mereka cukup besar dan bisa dibilang hampir tak ada pesaing. Pantaslah jika Pak Manto dikenal cukup berada dan tergolong beken di kalangan ibu rumah tangga.
Pak Manto dan Bu Ijah punya 2 anak. Semua sudah besar dan pasca lulus kuliah, keduanya menikah dan memilih menetap di ibukota. Sehari-hari Pak Manto dan istri menjalani hidup apa adanya.Â
Jam 3 pagi mereka bangun lalu sembahyang. Oh ya tentu mereka mandi besar dulu sebelum sembahyang jika sebelumnya mereka tidur bercampur. Yang jelas, mereka berdua orang yang taat beragama.
Nah, setelah sembahyang, barulah mereka ke pasar dan kembali lagi menjelang subuh. Matahari masih sembunyi warung mereka sudah buka. Dan, jam segitu sudah ada saja yang belanja. Sebagian orang ini sengaja datang lebih awal agar mendapatkan daging dan sayuran kualitas baik.
Satu yang menjadi ciri khas dari Pak Manto. Sehari-hari dia beraktifias menggunakan sarung. Mau ke pasar, jaga warung atau kondangan, Pak Manto tetap dengan sarung yang menjadi ciri khasnya. Sebetulnya, sudah banyak yang mempertanyakan tentang hal ini.
"Pak, pakai sarung terus, emangnya nggak kedinginan?" celetuk Pak RT satu waktu.
Tak sedikit orang yang menghubungkan ramainya warung Pak Manto dengan kebiasaannya memakai sarung ini. "Mungkin itu syarat dari dukun biar warungnya ramai kali," desus beberapa warga yang bisa jadi sirik. Tentu saja itu nggak benar. Pak Manto dan istrinya menjalani usaha dengan lurus. Kuncinya ya kerja keras.
"Lha kan emang iya tuh, Bu!" cecar Pak Manto sambil terkekeh.
"Iya tapi kan ya saya malu loh dibercandai begitu."
"Cuekin sajalah. Saya kan sarungan gini karena merasa nyaman. Lagian kita ini kan orang kampung. Mosok iya saya pake celana jin. Itu kan produk Amerika. Saya ini wong Indonesia, loh."
Mendengar itu, Bu Ijah cuma bisa misuh-misuh. Ini bukan kali pertama dia protes dengan cara suaminya berpakaian. Dulu, mereka sempat ribut juga karena menurut Bu Ijah, suaminya sengaja pamer sarung mahal kalau sedang ke masjid.
"Pak itu merek sarungnya mestinya di bagian dalam loh. Kok ya ini sengaja dibalik dan diperlihatkan gitu," protes Bu Ijah.
"Bapak-bapak yang lain juga begini makenya," ujar Pak Manto sambil mengenakan sarung. "Nah kan, kalau mereknya keliatan di bagian belakang bawah gini orang jadi tahu kalau sarungnya merek Gajah Kayang," sahut Pak Manto lagi.
"Ya ampun, Pak. Itu namanya pamer."
"Ah nggak, biasa aja kok. Wong bapak-bapak yang lain juga gitu."
"Ya kalau yang lain begitu kan bapak gak usah ikut-ikutan. Gimana dengan orang yang pakai sarung biasa, yang gak ada mereknya coba? Apa gak jadi minder."
"Nah kalau itu ya bapak gak bisa kontrol pikiran orang ya toh Bu. Lagian sarung bapak kan bukan yang mahal banget. Gak kayak Pak Haji Dudung yang sarungnya berbahan sutra yang pasti mahal banget."
"Hah, kok bapak tahu?"
"Ya tahu, kan label mereknya dia tempatkan di belakang. Bapak penasaran, soalnya coraknya dan bahannya kayaknya beda. Pas bapak cek di hape, sebuah sarung merek itu harganya 1 jutaan."
"Ya tetap ndak pamer lo," protes Pak Manto.
"Ah terserahlah, yang jelas saya ndak suka lihat bapak ikutan-ikutan pamer kayak gitu. Kasihan liat Mang Udin atau Yai Najib yang pakai sarungnya itu-itu aja. Itupun sarungnya nggak ada mereknya," ujar Bu Ijah sambil meninggalkan suaminya yang tetap bersikap seolah tak ada yang salah.
Selang beberapa bulan kemudian, kampung Naga Pesolek (omong-omong ini dinamakan demikian konon di danau pinggiran kampung ada naga yang sering numpang mandi), dihebohkan dengan tampilan Pak Manto yang tiba-tiba tak lagi menggunakan sarung.
"Pak kok nggak sarungan lagi?" tanya Mpok Lehak saking penasarannya. Pak Manto, orang yang ditanya cuma nyengir aja. Dia nggak menjawab apapun selain tertawa ringan. Saat nongkrong di pos ronda bareng bapak-bapak lain dan dibecandain, "wah udah kering bekas sunatnya ya, Pak" saja, Pak Manto Cuma nyengir.
"Bentar lagi bakalan bangkrut nih warungnya," bisik-bisik warga yang sejak awal memang iri hati.
Eh, selang jalan beberapa bulan, ternyata warung Pak Manto tetap ramai saja dan ternyata itu tidak ada pengaruhnya dari perubahan cara berpakaian beliau. Lantas, apa sih yang membuat Pak Manto tiba-tiba mengubah cara berpakaian yang sudah menjadi ciri khasnya sejak lama?
Bocah ini seketika menjerit hebat dan menghebohkan seisi rumah. "Mama, ada ulat bulu gerak-gerak di dalam sarung kakek!"
Ternyata, kejadian itu sangat mempermalukan dirinya. Jika selama ini ledekan warga kampung tak menggoyahkan pendiriannya, Pak Manto kini menyerah dihadapan cucu pertamanya. Apalagi pasca kejadian itu butuh waktu lama bagi Vito agar mau didekati oleh beliau.
Kejadian ini bikin hatinya uring-uringan. Lama tak bertemu cucu, eh begitu datang ada kejadian tak mengenakkan seperti itu. Sejak malam itu, Pak Manto mulai memakai lagi celana panjang yang lama tersimpan di dalam lemari.
Demi kebersamaan dengan sang cucu, beliau akhirnya dengan drastis mengubah kebiasaan lama mengenakan sarung. Sesekali saja saat ke masjid Pak Manto mengenakannya. Tapi, untuk aktifitas sehari-hari, sudah tidak lagi. Terutama jika sang cucu datang berkunjung, semua sarung yang dia miliki harus dimuseumkan sementara waktu. Hoho, Pak Manto.... Pak Manto.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H