"Cuekin sajalah. Saya kan sarungan gini karena merasa nyaman. Lagian kita ini kan orang kampung. Mosok iya saya pake celana jin. Itu kan produk Amerika. Saya ini wong Indonesia, loh."
Mendengar itu, Bu Ijah cuma bisa misuh-misuh. Ini bukan kali pertama dia protes dengan cara suaminya berpakaian. Dulu, mereka sempat ribut juga karena menurut Bu Ijah, suaminya sengaja pamer sarung mahal kalau sedang ke masjid.
"Pak itu merek sarungnya mestinya di bagian dalam loh. Kok ya ini sengaja dibalik dan diperlihatkan gitu," protes Bu Ijah.
"Bapak-bapak yang lain juga begini makenya," ujar Pak Manto sambil mengenakan sarung. "Nah kan, kalau mereknya keliatan di bagian belakang bawah gini orang jadi tahu kalau sarungnya merek Gajah Kayang," sahut Pak Manto lagi.
"Ya ampun, Pak. Itu namanya pamer."
"Ah nggak, biasa aja kok. Wong bapak-bapak yang lain juga gitu."
"Ya kalau yang lain begitu kan bapak gak usah ikut-ikutan. Gimana dengan orang yang pakai sarung biasa, yang gak ada mereknya coba? Apa gak jadi minder."
"Nah kalau itu ya bapak gak bisa kontrol pikiran orang ya toh Bu. Lagian sarung bapak kan bukan yang mahal banget. Gak kayak Pak Haji Dudung yang sarungnya berbahan sutra yang pasti mahal banget."
"Hah, kok bapak tahu?"
"Ya tahu, kan label mereknya dia tempatkan di belakang. Bapak penasaran, soalnya coraknya dan bahannya kayaknya beda. Pas bapak cek di hape, sebuah sarung merek itu harganya 1 jutaan."