Di situasi normal saja, saya tak pernah suka dengan rumah sakit. Tempat ini lebih banyak menyisakan kenangan kurang menyenangkan ketimbang sebaliknya.Â
Kayaknya, saya baru hepi ke rumah sakit saat menjenguk kerabat yang habis melahirkan, itupun saat ibu dan bayi sehat. Selebihnya, baik untuk berobat atau menjenguk orang sakit, keadaannya pasti tak lebih menyenangkan saat perjumpaan di tempat lain.
Nah, saat covid-19 ini, lebih-lebih deh saya menghindari rumah sakit. Sayangnya, qodratullah, saya dan keluarga harus kembali berurusan dengan rumah sakit pasca hari Minggu lalu, ibu saya ditemukan tergeletak di dapur rumah sambil menjerit kesakitan merasakan ngilu hebat di sekitaran pinggul dan paha.
Tanda-tanda Sakit yang Sama
Beberapa hari sebelumnya, pasca sahur dan ke kamar mandi, tiba-tiba saja ibu tertatih-tatih merasa kesakitan pada kaki kanannya. Saat itu, saya yang berada di ruang TV masih dapat menghampiri dan memapah hingga ke tempat tidur.
Kaki yang sakit langsung diolesi balsem dan langsung disinari pakai lampu kesehatan. Keadaan nampak membaik hingga saat saya tinggal tidur pasca subuh, ketika bangun pagi harinya, saya melihat ibu sudah beraktifitas seperti biasa di dapur.
Eh tahunya kejadian sama berulang. Minggu pagi, saat kami semua masih tertidur dan ibu beraktifitas di dapur, tiba-tiba kakinya kumat. Tahu-tahu saja beliau sudah tergeletak dan menangis kesakitan. Melihat sakitnya lebih parah, kami memutuskan untuk membawa ke UGD sebuah rumah sakit langganan di Palembang.
Benar saja, dokter memutuskan agar ibu diopname. Siang itu juga beberapa tindakan dilakukan seperti rontgen. Pihak rumah sakit sangat ketat di masa pandemik. Hanya ada satu orang yang boleh menunggui di UGD (eh bisa jadi itu peraturan lama, tapi masih ada toleransi. Hanya, di saat sekarang no excuse!)
Saya juga menyiapkan bekal berbuka puasa. Lauk sisa sahur saya panaskan, beberapa makanan kami beli dan beberapa gelondong pempek saya goreng untuk dimakan di rumah sakit. Naas, di kamar rawat lagi-lagi saya dan adik tak diizinkan masuk. Saya minta waktu untuk makan bersama saja tapi petugas cukup tegas.
"Padahal di kamar tidak ada pasien lain, hanya ada ibu sendiri," coba rayu saya. Tapi tetap tak berhasil. Ya sudahlah, peraturan tetap peraturan. Jadilah saya dan adik berbuka puasa di ruang tunggu yang senyap sambil ditemani nyamuk.
Berharap Ibu Segera Sembuh
Kemarin saya mendapatkan "jatah" untuk menunggui ibu dari pagi sampai sore. Di hari kedua, keadaannya masih memperihatinkan. Tiap beberapa menit dia menangis menahan sakit. Sialnya, saya hampir tak dapat melakukan apa-apa selain hanya memborehkan balsem dan obat dari rumah sakit.
"Jangan dipijit, ya, nanti syarafnya makin tegang," ujar dokter.
Beneran, gak enak nungguin orang sakit saat kita tak mampu berbuat apa-apa untuk mengurangi rasa sakitnya. Beberapa tahun lalu, juga di bulan Ramadan ibu pernah sakit dan harus bolak balik opname. Tapi, saat itu keadaannya cenderung lebih baik, minimal dia tidak harus menangis, meringis menahan sakit.
Dan, saat saya mengetikkan tulisan ini, hal-hal berat di Ramadan kali ini masih berlangsung. Dan, saya ingin menutup tulisan ini dengan sebuah kutipan di buku yang sedang saya baca. "Aku yakin, skenario Allah sedang bekerja padaku. Meski awalnya ada debaran-debaran ketakutan dan kekhawatiran, Allah menghapusnya dengan hal-hal mengembirakan dan melegakan."
Amin ya Rabbal alamin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H