Minggu lalu, saya mendapat kabar bahwa salah satu teman baik saya meninggal dunia. Beliau sosok yang menyenangkan terlihat dari proses komunikasi  selama ini walaupun kami hanya sebatas teman di sosial media dan belum sekalipun berjumpa.
Dia sosok yang baik, pintar (terlihat dari bidang pekerjaan yang ia tekuni) dan bela-belain support dengan cara membeli buku karya saya padahal dia tahu, buku itu berasal dari Yogyakarta (tempat dia tinggal), dikirimkan ke Palembang untuk kemudian dikirimkan lagi ke Yogyakarta hanya demi tanda tangan saya.
Kami juga banyak kecocokan karena sama-sama suka pelesiran. Jokes-nya juga nyambung, bahkan 3 hari sebelum kepergiannya, dia sempat merespon video lucu yang saya tampilkan di instagram story.
Yang bikin nyesal, saya hanya menanggapinya dengan menekan tombol like. Tak terpikir untuk menyapa dia sekadar bertanya kabar, karena saya tidak pernah tahu jika selama ini dia sakit.
Keesokan harinya, ada satu notifikasi di instagram dimana ada yang membalas komentar duka cita saya di profil beliau dengan sebaris tanya, "mati kenapa kak?"
Setelah saya telusuri foto terakhir almarhum, saya mendapati bahwa si X ini merespon semua komentar duka cita orang dengan pertanyaan yang sama, "mati kenapa kak?"
Saya yang tadinya menganggap dia khilaf alih-alih menggunakan kata "meninggal" tapi lebih memilih kata "mati" makin yakin kalau si X ini memang nggak ada adab. Oke iya, mati, meninggal, tewas bahkan punah artinya sama saja, tapi mbok ya apa nggak bisa ngebedain mana kata yang lebih tepat digunakan terlebih di ranah publik?
Terlepas dari minimnya kemampuan beliau memilih kata yang baik dan tepat, ada satu problem dalam dirinya yang ia sendiri mungkin nggak sadar. Yakni perihal etika dan empati, terutama saat suasana duka.
Saat kemudian ada rekan almarhum yang merespon dengan jawaban, "sakit." Lantas apa coba respon dari si X ini? Dia menjawab, "Sakit apa kak? Padahal updatean traveling terus, ya."
Tak ingin turun bikin kacau dan merusak suasana duka, saya lantas mengirimkan pesan singkat kepada dia. Pesan itu sengaja saya tampilkan di sini untuk dijadikan pelajaran buat semua.
Terus terang, dengan masih maraknya respon orang-orang yang kurang empati selaiknya si X ini saya jadi berfikir, apa ya yang salah? Saya yakin si X ini orang yang mengenyam bangku pendidikan. Saya rasa, hal-hal semacam ini juga sudah diajari di sekolah walaupun secara tidak langsung atau, dapat dipelajari dari interaksi kehidupan sosial.
Dulu, saya sempat baca satu artikel kecil di majalah bahwa respon terbaik saat bertemu orang yang tengah berduka ialah cukup dengan memberikan support sederhana berupa pelukan, rangkulan atau juga cukuplah mengeluarkan kata-kata sederhana semacam, "turut berduka cita, ya."
Jadi, tak usahlah bertanya banyak macam kepada keluarga yang tengah berduka, apalagi jika penyebab berpulangnya almarhum/almarhuma termasuk tidak wajar. Tahan sejenak rasa kepo Anda. Toh, tak ada untungnya tahu penyebab meninggalnya ybs kan?
Di lingkungan sahabat-sahabat dekat saya bahkan pernah berujar ekstrim, "jika nanti saya kehilangan anggota keluarga dan tengah berdua, nggak usah datang ya, cukup doa dari jauh saja." Kenapa? Saya tak mau bertemu dengan sahabat-sahabat saya di saat terburuk saya, walaupun saya tahu kehadiran mereka menjadi salah satu bentuk dukungan.
Walau, di sisi lain, saya juga menghindari pertanyaan-pertanyaan kepo yang mungkin saya tak sengaja tercetus. Biarkan orang yang berduka menikmati momen-momen terakhir kebersamaan dengan orang yang meninggalkan mereka lebih dulu.
Ada banyak sekali adab saat berinteraksi dengan orang yang tengah berduka. Nah, di zaman moderen seperti sekarang, adab itu juga dapat diaplikasikan di dunia maya, loh. Saya paham, kita pasti penasaran terhadap penyebab satu kejadian, tapi sekali lagi, lebih berempatilah. Tahan sejenak kekepoan itu demi menghormati kepergian orang yang mereka cintai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H