Sekali lagi kulihat keengganan mereka mengampiriku. Hanya si bungsu Dini yang terlihat lebih ceria, sedangkan Dito dan Dika bermuka masam ketika mengampiriku. Kutaksir Dito saat kupanggil tadi sedang asyik bermain di studio pribadi miliknya sedangkan Dika sedang asyik bermain Play Station dikamarnya, wajar saja kalau kini mereka terlihat kesal, namun aku tidak terlalu menghiraukannya.
Aku langsung saja mengajak mereka bercerita, menanyakan kegiatan mereka saat ini. Aku juga bercerita tentang kehiduanku sewaktu muda dulu, sewaktu ikut bersatu denganpara pejuang lain saat menghadapi penjajah, walaupun usiaku masih tergolong anak-anak pada saat itu.
"Dulu kakek adalah pejuang yang turut melawan penjajah. Kakek dulu ikut abah kakek yang juga sebagai pejuang. Walapun masih kecil namun kakek adalah anak yang pemberani. Pernah dulu kakek mencoba melampari tentara belanda dengan batu, dan mengenai kepala salah satu tentara pebjajah itu hingga mengeluarkan darah, waktu itu sang tentara kompeni sangat berang dan mencari-cari kakek, namun kakek langsung saja pergi, untung saja kakek banyak mengetahui jalan tikus di hutan pada saat itu jadi kakek lolos deh hahaha. "
Aku menunggu reaksi dari mereka bertiga, aku pikir mereka akan tertarik mendengar ceritaku, namun yang ada hanya sikap acuh-tak acuh dari mereka. Hanya Dini yang terlihat sedikit bereaksi.
"Wah kakek hebat dong... trus setelah itu bagaimana kek?"
Aku sedikit lega mendengar celotehan cucu bungsuku itu, walaupun hal ini tidak kudapatkan dari Dito dan Dika, mereka asyik bergumam sendiri. Terlihat Dito sedang asyik menyanyikan lagu band favoritnya walaupun dengan suara yang nyaris tak terdengar, sedangkan Dika sedang asyik melihat pemandangan taman.
Ingin rasanya bagiku untuk memarahi mereka, namun jujur saja untuk menghadapai anak-anak jaman sekarang aku yang telah berusia 72 tahun ini perlu kembali 40 tahun lebih muda untuk memarahi mereka. Anak-anak jaman sekarang itu sangat cepat perkembangnya. Kita berada di hari esok mereka telah berada di hari ini, kita berada di hari ini mereka telah jauh berada di hari berikutnya. Aku yang telah tua ini tidak sanggup memarahinya. Aku sendiri begitu heran mengapa hal ini bisa terjadi kepadaku , padahal disiplinku terhadap Bagus dulu sangatlah tinggi, tak heran ia kini menjadi orang yang sukses.
Tak ingin mengecewakan hati cucu bungsuku, dan tak ingin pula aku terus membiarkan Dito dan Dika digandrungi rasa bosan, aku berinisistif untuk menyelasaikan ceritaku lebih awal dan berjanji kepada Dini akan bercerita lain waktu.
Terlihat segurat senyum di bibir Dito dan Dika. Kini  tinggal aku yang merasa bingung, bahwa sekarang aku haru sedih atau bahagia.
"Pa beliin Dito Motor dong pa," suara Dito terdengar cukup jelas dari beranda samping tempat aku sekarang membaca koran pagi ini.