Beberapa hari lalu saya melihat salah seorang kontak di facebook membagikan sebuah status yang "unik". Isinya itu kurang lebih tentang peringatan bagi orang yang suka meminta-minta padahal bukan fakir yang diibaratkan seolah-olah ia memakan bara api. Lengkapnya, lihat langsung di bawah ini ya.
Yang jadi pertanyaan kemudian, apa benar, perihal salam tempel aja bisa sedemikian besar dampaknya?
Pengalaman saya dengan salam tempel
Sebagai anak generasi 90-an, jujur saja saya pernah merasakan nikmatnya salam tempel yang diberikan oleh om/tante atau kolega orang tua saya. Nominalnya bervariasi. Dulu mah, dikasih uang THR seribu perak aja udah bahagia dan berasa kaya raya hahaha.
Dari uang-uang yang saya kumpulkan itu, saya bisa beli komik dan mainan. Yup, pedagang mainan termasuk orang yang kelimpahan rezeki di saat lebaran. Favorit saya dulu beli mobil transformer atau tembak-tembakan seharga Rp 2000 sd Rp 3000 rupiah. Kalau anak sekarang, mungkin jajannya kuota kali ya hehehe.
Orang tua sendiri nggak pernah melarang saya menerima THR itu, lha wong mereka sendiri ngasih kok hahaha. Tapi, mereka akan sangat marah jika saya dan saudara meminta-minta, apalagi kepada orang lain/tamu terutama yang nggak kenal-kenal banget.
Hmm, standar ganda nih orang tua saya nampaknya hahaha. "Gakpapa, setahun sekali, bagi-bagi rezeki," kalau kata ayah. Ya sudah, jadilah, setiap hari pertama lebaran, setelah salat Ied, rumah akan dipenuhi oleh anak-anak tetangga yang antre minta salam tempel.
Eh mereka datang nggak secara terang-terangan minta salam tempel sih haha, tapi, tanpa harus dikodein pun, sebagai tuan rumah ya paham lah ya haha. Makanya, orang tua biasanya sudah mempersiapkan uang baru untuk anak-anak ini. Masing-masing diberi sama rata. Walaupun jumlahnya sedikit, mereka udah seneng banget. Nampak dari rona-rona antusias di wajah mereka. Persis seperti saya dulu saat menerima THR hwhw.
Saya pun memberikan salam tempelÂ
Saat sudah bekerja dan berpenghasilan, saya pun mempersiapkan uang untuk diberikan ke keponakan, anaknya sepupu atau bahkan orang-orang tua yang saya nilai layak saya beri. Misalnya saja, uwak yang sehari-hari ngebantu di rumah. Ya, sebagai tanda terima kasihlah. Jumlahnya juga nggak banyak.
"Namun cukuplah sebagai tanda kasih," kalau kata ibu saya,
Namun, perihal salam tempel ini saya cukup selektif. Saya mengutamakan untuk memberi THR kepada bocah-bocah yang saya nilai layak. Bagi yang orang tuanya tajir-melintir mah nggak. Tak jarang, saya bertemu dengan para orang tua yang lebih heboh "nodong" THR ketimbang anaknya sendiri.