Mohon tunggu...
om_nanks
om_nanks Mohon Tunggu... Lainnya - nikmati yang tersaji jangan pelit berbagi

☆mantan banker yang jualan kavling☆ ☆merangkum realita bisnis dalam sebuah tulisan☆ ☆penyelesaian kredit bermasalah advisor☆

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kampung di Komplek Perumahan

13 Februari 2023   08:07 Diperbarui: 13 Februari 2023   08:10 325
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi/nyonya rumah di sebuah kampung di komplek perumahan (source: kaskus.co.id)

Kampung di Komplek Perumahan 

Kampung yang dulu dikonotasikan sebagai kumpulan dari beberapa rumah tangga yang membentuk sebuah desa kecil, yang masih terasa longgar luas tanahnya di alam pedesaan. 

Kampung kota berada di perkotaan yang terasa berhimpit -himpitan nan sumpek, dengan gang sempit dan tali jemuran yang kadang menjuntai menampar setiap orang yang melewatinya. 

Kampung di komplek perumahan dengan  luas tanah yang tak lebih dari enam puluh sekian meter persegi dengan lebar maksimal hanya lima meteran. 

Kebanyakan mereka merupakan kaum urban, yang mencoba mengadu nasib keberuntungan.

Lantas bagaimana kampung di sebuah komplek perumahan? 

Kampung di komplek perumahan telah tertata rapi bagai asrama tentara, awalnya dihiasi oleh jalan aspal nan mulus dan tiang lampu jalan sebagai penerangan. 

Dikarenakan aspal pelapis jalan yang ala kadarnya sehingga pada musim penghujan di tahun pertama, sang jalan mulai menampakkan wajah aslinya. 

Rumah di sebuah kampung di komplek perumahan, karena keterbatasan lahan, ruang tamu jadi ruang keluarga atau kamar tidur dan teras menjadi ruang serbaguna, untuk menerima tamu, untuk mencuci baju dan dapat berfungsi sebagai jemuran baju. 

Semua kegiatan serba di depan, bahkan dapurpun terkadang juga berada di teras rumah, sembari sang nyonya rumah berkeluh kesah tentang gerahnya udara di dalam rumah, panasnya terik matahari, tentang dinding-dinding rumah yang mulai mengelupas bahkan retak. 

Tentang suaminya yang pulang kerja malam namun penghasilannya tetap saja pas-pasan, tentang tetangga baru yang sok ‘jaim’, tentang tetangga sebelah yang baru saja membeli peralatan rumah tangga elektronik, tentang tetangga sebelah yang punya ‘ponsel’ baru dengan tipe standart, dan tentang tetangga yang paling awal menempati rumah di komplek perumahan sehingga merasa berjasa bak pahlawan kesiangan.

Di sebuah komplek perumahan yang antar penghuni lebih sering beradu otot rahang, hanya karena si upik berantem dengan si upik, hanya karena merasa berisik oleh tetangga sebelah yang membunyikan musik sebuah group band yang telah di ubah menjadi irama dangdut koplo dengan volume keras melebihi batas.

Kampung di sebuah komplek perumahan, masyarakat marginal yang ingin merasakan nikmatnya hidup di kota besar namun dengan penghasilan minim, akhirnya terseok-seok,  tetap terpinggirkan oleh kejamnya suasana kota. 

Sesungguhnya komplek tersebut hanya berjudul komplek perumahan, namun jauh jika disebut sebagai kota modern yang sesungguhnya. 

Penghuninya selalu menempuh puluhan kilometer hanya untuk mencapai tempat kerja, yang diawali dengan saling berebut keluar di kala pagi buta dan berebut masuk komplek perumahan di saat malam telah mulai temaram. 

Badan yang capek akan terasa lebih capek dengan penat dan gerahnya suasana rumah oleh suhu derajat celcius yang tak pernah turun meskipun datang musim penghujan.

Suhu derajat temperamen sang nyonya rumah, yang mendamprat habis sang suami yang baru pulang dari kerja. 

Yang kenapa kerja pagi pulang malam hanya memberikan penghasilan yang terlalu kecil untuk sekedar dapat disombongkan kepada tetangga sebelah rumah, atau kepada saudara dan mertua perempuan. 

Kampung di sebuah komplek perumahan, semakin tak bersahabat manakala kala mertua perempuan sang nyonya rumah yang datang dari desa untuk sekedar menengok cucu tersayang. 

Dari harus tidur dimana, harga beras yang tak lagi jelas, harga kebutuhan pokok yang mahal dan tukang kredit yang datang setiap hari hanya untuk mengucapkan ‘selamat pagi’ sembari menagih janji setoran sang empunya rumah. 

Semakin mencekik tenggorokan mertua perempuan, hanya untuk sekedar menikmati enaknya makan di kampung sebuah komplek perumahan. 

Yang segera mengharuskan mertua perempuan sang nyonya rumah untuk secepat kilat pamit dan tak kan pernah kembali lagi.   

Sebuah hunian yang berada di pinggiran dan jauh dari kota. Namanya juga kampung di komplek perumahan.

***

sebuah cerita fiksi ditulis sebelum berangkat kantor, kala itu di 15 April 2007.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun