Mohon tunggu...
om_nanks
om_nanks Mohon Tunggu... Lainnya - nikmati yang tersaji jangan pelit berbagi

☆mantan banker yang jualan kavling☆ ☆merangkum realita bisnis dalam sebuah tulisan☆ ☆penyelesaian kredit bermasalah advisor☆

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Liburan Lebaran Vanya

14 Desember 2022   16:50 Diperbarui: 14 Desember 2022   16:59 261
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hanya sebuah cerita pendek hasil mengarang yang berlatar di belasan tahun silam, dimana periode blackberry belum merajai apalagi system android dengan aplikasi whatsappnya, teknologi tertinggi sebatas foto yang itupun masih terbilang belum sempurna seperti sekarang dan sms masih menjadi sarana favorit untuk bertegur sapa tanpa bersuara.   

Liburan Lebaran Vanya

Sebetulnya hari ini masih libur karena Vanya memang sedang mengambil cuti untuk meneruskan liburan lebaran tahun ini.

Namun karena beberapa menit yang lalu ponsel di atas meja berbunyi dan bergetar, yang ternyata sms dari mantan pacarnya.

“Entah tahu darimana Syah, sang mantan itu punya nomor ponselku,” celoteh Vanya setengah neg namun masih terpancar sisa–sisa rasa sayang terhadap pria yang telah mencampakkannya itu.

Tiba–tiba, masih terekam jelas peristiwa sepuluh tahun yang lalu ketika Syah harus meninggalkan dirinya, untuk menempati pos barunya sebagai tenaga pemasar di kota Surabaya.

Padahal ketika itu nafas cinta diantara keduanya masih hangat–hangatnya, masih ranum–ranumnya seperti buah semangka di pondok buahnya Pak Di.

Ya Pak Di, di pondok buah itu beberapa bulan sebelumnya mereka bertemu dan berkenalan serta berikrar untuk melanjutkan hubungan setelah beberapa minggu kemudian kembali bertemu.

Dengan disaksikan oleh belahan buah semangka ranum yang sebagian belahan lainnya dibeli pelanggannya Pak Di.

Mereka sama–sama dua makhluk yang kesepian dan capek serta hampir putus asa untuk mencari cinta sejati kala itu.

Karenanya mereka merasa cocok dan sepakat untuk melanjutkan hubungan. “Inilah kapal terakhir yang singgah di pelabuhan hatiku,” pekik Vanya sembari melepas gaun yang dikenakan malam itu setelah pulang dari berkencan dengan Syah.

Di kamar kostnya di bilangan jalan Pandanaran Semarang. Nampak jelas kebahagiaan yang terpancar di raut wajahnya yang putih bersih seperti kulit bayi.

Serasa baru kemarin saja Vanya melepas Syah di terminal bus Terboyo Semarang untuk meneruskan perjalanan ke kota Pahlawan Surabaya.

Sampai–sampai Vanya ingat betul bus Jawa Indah yang membawa kekasihnya pergi untuk meniti karir itu.

Vanya hanya bisa menangis sedih di kamar kostnya sepeninggal Syah, kekasih yang sangat dia cintai itu.

Vanya takut kehilangan, dia takut cita cintanya akan kembali jatuh terjerembab ke jurang yang semakin dalam.

“Vany…….Vany……sarapan disit mbog, ben maag-e belih kumat,” teriak sang Ibunda sekaligus membuyarkan lamunannya tentang peristiwa sepuluh tahun silam itu.

Di rumah orang tuanya di bilangan perumahan di selatan kota Purwokerto, Vanya menghabiskan liburan lebarannya bersama dengan orang tua semata wayangnya, sang Ibunda tercinta karena Bapak yang dia cintai telah berpulang ke Rahmatullah beberapa tahun silam.

Sedangkan adiknya telah kembali ke Jakarta bersama dengan adik ipar dan keponakan–keponakan Vanya.

Dia baca isi sms dari Syah, pria yang pernah begitu dia cintai :
“Aing…(demikian panggilan sayang Syah kepada Vanya) mas skrng sdg di Semg tugas ktr bbrp hr, g tau mo nginep dimana,mas kangen & pengin ktemu,msh kost di tempat yg dl?tks”.

Ternyata sms ini merupakan upaya terakhir Syah untuk dapat menghubungi Vanya setelah beberapa panggilan tak terjawab yang terekam di ponsel Samsung i700 milik Vanya.

ilustrasi/samsung i700 (sumber: www.phonesdata.com)
ilustrasi/samsung i700 (sumber: www.phonesdata.com)

Dalam kebimbangan antara mau menjawab sms atau tidak menggubrisnya sama sekali, Vanya lunglai, lemas, perih karena lukanya belum kering benar meski telah sepuluh tahun silam kejadian itu berlalu.

Tiba–tiba rasa rindunya beradu dan berkecamuk dengan rasa marah dan benci. Kebenciannya jauh melebihi tatkala sepuluh tahun silam Syah hilang tanpa kabar sama sekali.

“Kenapa Dia datang kembali disaat aku sudah memutuskan untuk menutup rapat semua pintu untuk semua lelaki,” celotehnya dalam hati.

“Aku sudah merasa bahagia dengan kehidupanku yang sekarang, materi yang berkecukupan, kehidupan yang mandiri dan tanpa gangguan orang–orang yang dapat membatasi ruang gerakku,” lanjutnya berceloteh di dalam sanubarinya.

“Meski jauh di dalam hatiku, terkadang aku membutuhkan sentuhan lembut tangan kekar seorang lelaki, lelaki yang aku cintai, lelaki yang dapat aku yakini mampu untuk memberikanku sandaran hingga hari tuaku tiba kelak, lelaki yang dapat membahagiakanku sepanjang waktu,” sambungnya masih di dalam hati.

Disambarnya handuk di jemuran samping rumah untuk kemudian dibawa ke kamar mandi, sementara matahari pagipun menyapa dengan sinarnya yang malu-malu menembus keelokan tubuhnya berbalut gaun tidur berbahan sutra yang tipis, masih saja cantik ditambah kulit putihnya yang bersih meski usianya kini sudah tidak muda lagi, gurat–gurat kecantikannya masih nampak jelas terlihat meski kerutan–kerutan kulit wajahnya dan beberapa helai uban menghiasi kepalanya.

Vanya sedikitpun tidak mempunyai rencana untuk menemui Syah di Semarang (mulut mengatakannya tidak, "temui... kapan lagi kalau tidak sekarang" demikian hasrat hati tiba-tiba memberontaknya)

Namun demikian masa liburan lebaran di Purwokerto pun tiba–tiba segera akan diakhiri, untuk selanjutnya menempuh perjalan pulang ke Semarang, dengan mengendarai Honda Jazz warna kuning, warna kesukaan Vanya sekaligus Syah.

“Jare rencanane pan nang salon, creambath sekalian mampir nang omahe Bulekmu Sri, karo njaluk digawekna sambele Bulekmu Sri sing uenak kuweh,” ujar Ibunda Vanya dengan logat banyumasan campur tegalan sebagai upaya agar kepulangan Vanya ditunda besok atau lusa.

“Kenangapa sih buru–buru bae mulih nang Semarang?” lanjut Ibunda Vanya sembari tetap berusaha untuk menahan kepulangan anak perempuannya itu.

“Belih kenapa–kenapa, inyong nembe kemutan wis ana janji karo kanca kantor,” jawab Vanya sambil nyari–nyari alasan yang pas.

“Ach…Ibu ini tidak tahu bagaimana suasana hati anak perempuanmu sekarang ini, senang-susah-kesal bahkan neg telah teraduk dan bercampur dalam gelas hati yang rasanya semakin rapuh saja,” keluh Vanya sembari memasukkan tas dan beberapa bungkusan ke dalam mobilnya.

Dengan setengah hati Ibunda Vanya melepas kepulangan Vanya ke Semarang dengan menyetir sendiri mobilnya.

Setelah membeli oleh–oleh gethuk Sukaraja dan beberapa oleh–oleh khas Purwokerto lainnya, Vanya kembali memacu mobilnya melewati jalanan yang masih saja ramai oleh kendaraan pemudik meski cuti bersama lebaran telah usai beberapa hari yang lalu.

Masih saja berkecamuk di dalam hati Vanya, mengingat isi sms dari Syah tadi.

“Tega–teganya kamu memperlakukanku seperti ini Mas,” sambil tak terasa air mata mulai membasahi pipi putih mulusnya yang dulu pernah begitu akrab dengan sentuhan dan belaian sayang lelaki bernama Syah.

Kemudian diusapnya pipi Vanya dengan tisu yang sengaja ditaruh di dashboard mobil.

“Aku bukan perempuan ingusan lagi, aku bukan gadis yang baru kenal cinta pertama, aku gak boleh cengeng, apalagi hanya karena urusan laki–laki,” geramnya sambil diiringi alunan musik tape mobil dari lagu–lagu instrument miliknya Yani.

“Lantas mengapa aku buru-buru balik ke Semarang dengan meninggalkan begitu saja rencana liburan yang masih tersisa beberapa hari ke depan yang telah tersusun rapi bersama teman-teman SMA di Purwokerto” gumamnya kesal sambil mencari-cari nomor telepon Syah di inbox sms yang belum tersimpan dalam kontak ponsel miliknya, untuk kemudian menekan tombol “call” sebagai upaya untuk menghubungi lelaki itu...

*****

Semarang, Rabu 15/10/2008

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun