Dalam kebimbangan antara mau menjawab sms atau tidak menggubrisnya sama sekali, Vanya lunglai, lemas, perih karena lukanya belum kering benar meski telah sepuluh tahun silam kejadian itu berlalu.
Tiba–tiba rasa rindunya beradu dan berkecamuk dengan rasa marah dan benci. Kebenciannya jauh melebihi tatkala sepuluh tahun silam Syah hilang tanpa kabar sama sekali.
“Kenapa Dia datang kembali disaat aku sudah memutuskan untuk menutup rapat semua pintu untuk semua lelaki,” celotehnya dalam hati.
“Aku sudah merasa bahagia dengan kehidupanku yang sekarang, materi yang berkecukupan, kehidupan yang mandiri dan tanpa gangguan orang–orang yang dapat membatasi ruang gerakku,” lanjutnya berceloteh di dalam sanubarinya.
“Meski jauh di dalam hatiku, terkadang aku membutuhkan sentuhan lembut tangan kekar seorang lelaki, lelaki yang aku cintai, lelaki yang dapat aku yakini mampu untuk memberikanku sandaran hingga hari tuaku tiba kelak, lelaki yang dapat membahagiakanku sepanjang waktu,” sambungnya masih di dalam hati.
Disambarnya handuk di jemuran samping rumah untuk kemudian dibawa ke kamar mandi, sementara matahari pagipun menyapa dengan sinarnya yang malu-malu menembus keelokan tubuhnya berbalut gaun tidur berbahan sutra yang tipis, masih saja cantik ditambah kulit putihnya yang bersih meski usianya kini sudah tidak muda lagi, gurat–gurat kecantikannya masih nampak jelas terlihat meski kerutan–kerutan kulit wajahnya dan beberapa helai uban menghiasi kepalanya.
Vanya sedikitpun tidak mempunyai rencana untuk menemui Syah di Semarang (mulut mengatakannya tidak, "temui... kapan lagi kalau tidak sekarang" demikian hasrat hati tiba-tiba memberontaknya)
Namun demikian masa liburan lebaran di Purwokerto pun tiba–tiba segera akan diakhiri, untuk selanjutnya menempuh perjalan pulang ke Semarang, dengan mengendarai Honda Jazz warna kuning, warna kesukaan Vanya sekaligus Syah.
“Jare rencanane pan nang salon, creambath sekalian mampir nang omahe Bulekmu Sri, karo njaluk digawekna sambele Bulekmu Sri sing uenak kuweh,” ujar Ibunda Vanya dengan logat banyumasan campur tegalan sebagai upaya agar kepulangan Vanya ditunda besok atau lusa.
“Kenangapa sih buru–buru bae mulih nang Semarang?” lanjut Ibunda Vanya sembari tetap berusaha untuk menahan kepulangan anak perempuannya itu.