Mohon tunggu...
Budi Hartono
Budi Hartono Mohon Tunggu... -

http://jaturampe.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kompasiana, Pak Pos, Arimbi Bimoseno: Tuhan Maha Baik!

9 Juli 2012   06:41 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:09 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pos..pos!”

suara datang dari halaman depan rumah.

“Wuih, pada siapa nih Pak Pos akan membagikan rejeki,” bisikku dalam hati. Kerinduan akan suara Pak Pos menjelma jadi berbagai kilatan peristiwa lampau seperti menonton film yang lakonnya   tentang figur  Santa Klaus yang membagikan entah boneka, permen ataupun jajanan. Dan benar saja, Pak Pos adalah sahabat yang baik bagi anak, remaja yang menunggu balasan surat rindu dari kekasih maupun seorang penganggur yang menunggu surat panggilan kerja.

“Pos..pos!”

“Iya Pak, sebentar!” sahutku buru-buru sembari membuka pintu.

Hmm..wajah pengantar itu belumlah tua, berkisar usia limapuluh tahunan.

“Anu Mas, ini benar rumahnya Budi?”

“Inggih Pak, saya sendiri..wonten punapa, nggih?” tanyaku deg-degan.

“ini ada kiriman untuk sampeyan, kelihatannya berupa buku, dan tolong tanda-tangani di sebelah sini!” tukas Pak Pos.

Kuambil paket kiriman itu, sambil kutanda-tangani buku laporan miliknya. Pagi menjelang siang, hati membentuk bayang-bayang pertanyaan.

“Siapa Bud?” merdu suara ibuku terdengar dari dalam kamar

“E, Pak Pos..Buk, ini mengantar paket kiriman!” jawabku, “terima kasih Pak,”ucapku beralih pandang pada Santa Klaus nyata ini.

“Ya, sama-sama Mas, saya langsung mohon diri, ini mengantarkan surat di Desa Sebelah,” Katanya

“O, inggih Pak, monggo! Jawabku.

Terdengar suara raungan gas dari motornya, dan kelebat bentuknya menghilang ditelan tikung jalan sebelah rumah.

Kertas sampul putih, bertuliskan alamat rumahku. “Dari siapa ini, ya?” bisik hatiku. Secepat serdadu Jepang menyerang Pearl Habour, segera kubuka sampul itu. Eng..ing…eng, heits…sebuah buku bersampul putih,  dengan judul “Karma (Cermin Kehidupan dan Pengukur Diri) Cepat Datangnya” karangan dari Arimbi Bimoseno.

“Kiriman saka sapa, bud?” suara Ibu mendekat tidaklah sejauh jarak Anyer-Panarukan

(heleh, apa hubungane iki, he he)

“Menika, buku kiriman saking Mbak Arimbi, Buk, rencang saking Kompasiana” jawabku

“Arimbi  Bimosena? lho bukankah Arimbi adalah sebuah nama dan kisah pewayangan tentang ketulusan? Ya.. Ketulusan terhadap sesuatu yang dipercayai, ketulusan pada sesuatu yang dicintainya, dan Arimbi sendiri adalah wujud dari ketulusan itu, Le! Ia adalah seorang raseksi yang sangat mencintai Bima, lalu lewat doa Kunti Ibu dari Bima, Arimbi menjelma menjadi menjadi wajah yang cantik secantik hatinya, dan lewat rahimnya, Sang Jabang Tetuka –Gatutkaca- Lahir, Le!” cerita Ibuku. (Hehehe, ibuku memang hobi untuk bercerita, setiap hal apapun akan dihubungkannya dengan bermacam peristiwa yang diketahuinya)

Lan tanaalul birra hatta tunfiquu mimmaa tuhibbun..

Bahwa..Engkau tidak akan pernah mencapai kebahagian (yang sempurna) hingga engkau mampu mengorbankan hal yang terbaik dari yang engkau miliki, dan temanmu itu sedang menjalankan ayat tersebut,  Ya,  Ia memiliki ketulusan persahabatan, dan semoga Tuhan senantiasa memberikan kebaikan kepadanya, Bud!” Ibu melanjutkan petuahnya

“Nggih, Buk,” jawabku lirih..

Kompasiana, Pak Pos, Arimbi Bimoseno:  Terima kasih!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun