Mahkota tertinggi seorang guru. Inilah topik pilihan kisah Omjay kali ini. Tak sengaja Omjay bertemu dengan seorang guru tangguh berhati cahaya. Beliau mantan perwira polisi. Sekarang sudah meninggal. Namanya almarhum H. Musyawir (Purn polisi), kakak sulung bapak Thamrin Dahlan. Omjay bertemu dengannya ketika menjadi narasumber bedah buku bukan orang terkenal. Kami mengobrol sebentar bersama mbak Riri Wijaya dari penyiar radio Broadcaster radio 103,4 FM Jakarta.
Pertemuan bersejarah itu sudah 12 tahun lalu berlalu. Namun apa yang beliau sampaikan begitu berkesan di hati Omjay. Selain rahasa panjang umurnya, ada hal lain yang beliau katakan. Kata beliau mahkota seorang guru adalah kejujuran. Guru yang jujur akan mendapatkan mahkotanya.
Kejujuran adalah mahkota seorang guru. Begitu kata seorang pakar pendidikan Islam, Fuad bin Abdul Aziz Al-Syalhub, dalam bukunya Al-Mu'allim Al-Awwal Shallallahua'alaihi wa Sallam Qudwah Likulli Mu'allim wa Mu'allimah. Ketika guru berkata jujur, maka guru telah memiliki sifat kenabian yang mulia.
Dia mengatakan hal itu dengan mengambil teladan pada diri sang guru umat muslim di dunia, Nabi Muhammad SAW yang menggunakan salah satu motode pengajarannya atau pembelajarannya yang sangat menjunjung tinggi kejujuran, ternyata telah berhasil begitu banyak meninggalkan ilmu berguna membekas pada muridnya.
Kalau saja semua guru sekarang mau bersepakat contoh guru yang paling sempurna adalah Rasulullah SAW, tentu metode yang beliau gunakan sangat perlu untuk dipelajari, dihayati, dan diamalkan. Sebab dalam diri Rasululah ada contoh yang baik bagimu.
Keampuhan motode tersebut sudah terbukti sangat luar biasa, ribuan sahabat yang sekaligus menjadi murid Nabi SAW mampu menyerap ilmu begitu banyak. Padahal kala itu sarananya sangat terbatas, termasuk alat untuk tulis menulis pun sangat minim, namun hafalan mereka hingga sekarang telah melahirkan ribuan kitab yang dibukukan oleh para generasi yang datang kemudian. Â
Keberhasilan proses pendidikan yang diajarkan Rasulullah SAW 14 abad yang lalu itu, hendaknya sekarang ini perlu menjadi renungan bagi para guru dan pejabat yang mengelola pendidikan di negeri ini.Â
Perlu kita sadari, karena hampir tiap tahun ajaran berakhir, banyak yang gelisah dengan target kelulusan murid yang terancam tidak akan tercapai. Sehingga menjelang kegiatan asesmen nesional berbasis komputer atau ANBK setiap tahun berbagai upaya pun dilakukan. Hal ini dilakukan agar raport pendidikan terlihat baik.
Guru-guru diharuskan mengajar ekstra, murid-murid atau siswa-siswa dipompa dengan berbagai latihan soal-soal, dan tidak sedikit anggaran harus ditambah untuk itu. Seharusnya guru harus memahami kebutuhan siswa.
Kenapa hal ini sampai terjadi? Barangkali apa yang dikatakan Fuad bin Abdul Aziz itu ada benarnya. Banyak guru di negeri kita sekarang sudah mulai hilang mahkotanya. Mereka tidak lagi memiliki salah satu sifat mulianya yang bernama kejujuran.Â
Banyak para pendidik dewasa ini telah mengabaikan urgenitas sebuah prinsip, ilmu, amal dan keikhlasan. Sehingga begitu banyak ilmu yang seharusnya berguna dan bermanfaat, namun tidak berbekas pada muridnya.
Bukti ketidak jujuran para guru itu, sepertinya sudah diakui semua pihak termasuk pemerintah. Hal ini dapat dilihat dari kenyataan beberapa kali sudah ujian diadakan, hasil yang diperoleh anak didiknya kurang mendapat kepercayaan bahwa itu murni kemampuan mereka. Sehingga setiap kali ujian berlangsung pengawasan pun tidak dipercayakan lagi sepenuhnya kepada guru. Â
Guna mengembalikan mahkota guru yang telah hilang itu, agaknya momentum ANBK setiap tahun bisa digunakan dengan baik. Guru tidak perlu lagi memberi kunci jawaban kepada siswa. Biarkan siswa menemukan sendiri jawabannya.
Karena tugas guru untuk mengajar jangan diselewengkan pada prioritas lain hanya sekedar mencari nama. Biarlah anak-anak menjawab sendiri semua soal dengan kemampuannya sendiri. Jika toh nanti mereka gagal, beri kesempatan mengulang setahun lagi, agar upaya belajar mau ditingkatkan.Â
Mahkota seorang guru adalah simbol penghormatan dan pengakuan terhadap peran penting yang dimainkan oleh guru dalam mendidik dan membimbing generasi muda. Dalam konteks ini, "mahkota"Â mencerminkan:
- Pertama, Penghargaan atas Dedikasi: Guru menginvestasikan waktu dan tenaga untuk memastikan siswa memahami pelajaran dan meraih potensi terbaik mereka.
- Kedua, Inspirasi dan Teladan: Seorang guru tidak hanya mengajarkan ilmu, tetapi juga menjadi contoh dalam perilaku dan sikap kepada siswa.
- Ketiga, Perubahan Sosial: Guru berperan dalam membentuk karakter dan nilai-nilai siswa, yang dapat berdampak pada masyarakat secara keseluruhan.
- Keempat, Pendidikan Berkelanjutan: Guru juga terus belajar dan berkembang agar dapat memberikan pendidikan yang berkualitas.
Dengan demikian, "mahkota seorang guru" mengingatkan kita akan pentingnya menghargai dan mendukung para pendidik dalam menjalankan tugas mulia mereka. Mari kita raih mahkota seorang guru. Kejujuran kunci kesuksesan dan keberhasilan.
Demikianlah kisah Omjay kali ini tentang mahkota seorang guru. Semoga dapat bermanfaat bagi pembaca kompasiana. Ayo kita menjadi orang jujur supaya negara ini tidak menjadi hancur.
Salam Blogger Persahabatan
Omjay/Kakek Jay
Blog https://wijayalabs.com/about
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H