Kehidupan ekonomi, keluarga, lingkungan, beban pelajaran yang harus disampaikan, perilaku murid, juga interaksi kepada masyarakat. Tapi ini semua bukan berarti membuka pintu selebar-lebarnya atas tindakan keras seorang guru kepada muridnya. Oleh karena itu, rambu-rambu itu harus segera dibuat dan ditaati bersama.
Kesabaran kita terasa sangat berat, ketika berhadapan pada proses yang menurut logika kita mudah, hanya mengikuti, mengulangi, melakukan tugas, dan tidak melakukan perbuatan yang melanggar.Â
Jalan menuju perbaikan kita pangkas, menjadi sederhana, do it, or you will be punish!Â
Proses rekonstruksi pemahaman siswa, kita batasi dengan waktu yang singkat. Kita letakkan ke dalam frame yang sangat sempit, menutup kemungkinan berbedanya cara pandang siswa dengan guru.Â
Akhirnya, jalan pintas ini kita tempuh, menegur keras semua siswa yang tidak menurut, lambat dalam proses, tidak sesuai standar yang telah ditetapkan. Mengedepankan hukuman, dibandingkan motivasi, mendahulukan lontaran kata yang keras, dibandingkan tepukan halus dipunggung.
Kita pahami, guru juga manusia, namun predikat guru adalah seorang yang kita anggap telah mumpuni secara ilmu dan emosi, sudah menguasai psikologi anak, psikologi perkembangan, dan juga memahami bahasa tubuh setiap siswa.
Kita berikan anak kita ke sekolah untuk dididik, dengan sepenuh hati, karena kita yakin sekolah menjadi tempat yang paling mulia untuk memacu potensi anak.Â
Konsekuensi dari peraturan sekolah yang ada, juga kami siap terima, termasuk ketika guru memberikan teguran keras kepada anak kami. Namun, kami harapkan, teguran ini seperti halnya seorang pemilik tanaman, meluruskan tumbuhnya sebuah dahan, namun tidak mematahkannya, menghilangkan sifat-sifat buruk dari anak kami, seperti halnya benalu ditanaman, tapi tidak membunuh pohonnya, tidak membunuh motivasi dan rasa ingin tahunya.
Ituylah mengapa kita perku mempersakan guru di masa depan yang tak mudah marah. Videonya sudah Omjay tayangkan di channel youtube https://youtu.be/GhX7FxxaXqc.
Penutup dan kesimpulan.