Mohon tunggu...
Egi Septiana
Egi Septiana Mohon Tunggu... -

Mencari terang dalam gelap

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Melancong (Memorize of Yogyakarta 2010) part 2

27 Desember 2011   06:30 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:42 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Welcome Yogya

“Welcome Yogya”

Kalimat ramah itu terpampang kokoh disebuah baligo besar tepat dimuka setasion Lempeuyangan. Kalimat sederhana itu  seakan memiliki sihir, mengalirkan sengatan kelegaan, kekaguman pada setiap orang yang membacanya. Ketiga pemuda nekad itu pun serentak tersenyum tanpa komando.

“Kami datang wahai Yogya,” seru Udin yang baru saja turun dari pintu gerbong kereta, matanya melihat sekeliling, sorotannya bergejolok penuh semangat.

Adnan dan Tio yang berada dibelakang Udin tak mau kalah gaya. Laksana prajurit yang baru saja turun dari kudanya sehabis memenangi peperangan, mereka membusungkan dada, mengepalkan kedua tangan, dan bibir mereka tersenyum lebar sambil menatap tajam sekeliling penuh bangga.

“prittt..priitt..priiiitttttt..”  seorang petugas setasion berlari sambil meniup peluitnya.

“Eh, minggir!!! Minggir!!,, jangan menghalangi pintu gerbong!!” hardik si petugas setasion.

Adnan, Tio, dan Udin terkejut, mereka tidak menyadari posisi mereka berdiri penuh gaya tadi, menghalangi para penumpang lain yang hedak turun dari gerbong kereta. Ketiganya pun bergegas pergi dengan kikuk dan malu.

***

Setelah menempuh perjalanan hampir dari jam 10 malam sampai jam 7 pagi, Tio merasakan pegal disekujur tubuh kurusnya, bayangkan saja duduk selama 9 jam tanpa bisa banyak menggerakan badan karena saking penuhnya kereta ekonomi yang mereka tumpangi tadi. Ia pun merebahkan badan kurusnya berselonjoran diatas lantai keramik didepan kantor petugas kereta. Sementara Adnan dan juga Udin tengah bergantian masuk kamar mandi untuk mencuci muka menyegarkan wajah, sekaligus sedikit memberi polesan pada wajah dan rambut mereka. “Agar terlihat lebih ganteng,” katanya.

“Dari mana dik?” Tanya seorang petugas yang hendak masuk ke kantor.

“Dari Bandung, pak,” jawab Tio.

Adnan, Tio, dan Udin terlibat obrolan dengan sang penjaga setasion itu. Moment ini dimanfaatkan betul oleh udin untuk bertanya banyak hal yang perlu mereka ketahui. “Pak, kalo tempat wisata terdekat dari sini apa saja pak?”

“Banyak dik, kurang dari 3 kilo meter dari sini adik-adik akan sampai ke jalan malioboro, tak jauh dari sana juga ada keraton, alun-alun, juga musium.” Si Petugas menjelaskan sambil menunjuk ke arah barat. “Saya sering sekali bertemu dan mengobrol dengan wisatawan seperti adik-adik ini, dan hampir dari kesemua wisatawan ini sangat mengagumi jalan malioboro. Katanya tak lengkap kalo pergi ke Yogya tanpa transit dulu di jalan malioboro.”

Adnan, Tio, dan Udin dengan seksama memperhatikan kisah si petugas.

“Pak kalo harga tempat menginap disini mahal gak pak” selidik Adnan. “Maklum pak, modal pas-pasan kita.” Tio menambahkan.

“Disini banyak terdapat motel murah, atau disini sering disebut losmen, soal harga sih sekitar dari 50 ribu, tapi itu juga tergantung jenis kamarnya.” Jawab si petugas.

Dan setelah perbincangan itu dirasa cukup, tiga pelancong dari Bandung itu pun segera bergerak menyisir jalan ke arah yang ditunjukan si petugas tadi. Bersamaan dengan langkah kaki, tangan dan mulut mereka tengah sibuk melahap roti yang mereka bawa dari Bandung untuk mengisi perut mereka yang semalaman hanya diisi keripik, kopi, dan rokok saja.

“Tujuan pertama kita di hari pertama ini,, adalah,,, Malioborooo...” Teriak Tio.

Disepanjang menyisir jalan, beberapa tukang becak menawarkan jasanya, namun jelas, penolakan lah yang didapat si tukang becak. Karena dalam rangka penghematan ketiga pelancong itu memilih berjalan kaki. Lagian jarak yang hendak mereka tempuh ke jalan Malioboro tak jauh seperti petugas tadi bilang. Dan disepanjang jalan itu juga, mereka tak henti kembali berbincang meluapkan perasaan senang bercampur tidak percaya saat ini mereka tengah menginjakan kaki di bumi Yogya.

Tak mau kehilangan moment, suara jeprat-jepret kamera mengabadikan moment-moment kenarsisan ketiga pelancong ini.

Tak lama mereka memasuki sebuah gang yang katanya menjadi jalan pintas menuju jalan Malioboro. Tio memandang suasana dan bentuk rumah-rumah yang ternyata tak jauh berbeda dengan di Bandung sana. Yang berbeda hanyalah soal kebersihan. Suasana lingkungan yang bersih dan tertata itu memberikan nuasa yang berbeda bagi Tio dan kedua sahabatnya itu. Ini menjadi rasa kagum pertama terhadap bumi Yogya.

Kekaguman selanjutnya tak lama muncul saat ketiganya keluar gank tadi. Kali ini mereka disuguhi suasana jalan raya yang bersih, tak mereka temukan sehelai sampahpun di pagi itu. Selaian itu, kendaraan-kendaraan didepan mereka melintas rapih, tertib, tanpa terlihat kemacetan yang dibuat para supir angkot seperti dibumi Bandung. Padahal di pagi seperti ini merupakan waktu dimana orang-orang bergegas pergi menuju tempat kerja, sekolah-sekolah ataupun menuju pasar.

“Di Bandung, pagi seperti ini merupakan waktu kemacetan tiba.” Seru Tio terheran-heran sekaligus kagum melihat suasana jalan raya didepanya sekarang ini.

Setelah kurang lebih 30 menit berjalan dari setasion tadi, akhirnya ketiganya sampai juga kesebuah belokan dengan sebuah plang kecil berwarna hijau bertuliskan, “Jln. Malioboro.” Malioboro merupakan salah satu wilayah favorit bagi para wisatawan.

Berdasarkan sejarahnya, Malioboro sebelum berubah menjadi jalanan yang ramai seperti sekarang ini, hanyalah ruas jalan yang sepi dengan pohon asam tumbuh di kanan dan kirinya. Jalan ini dulu hanya dilewati oleh masyarakat yang hendak ke keraton. Kemudian keberadaan pasar Beringharjo serta keberadaan permukiman etnis tionghoa, perlahan merubah wajah Jalan Malioboro. Perekonomian di kawasan tersebut terdongkrak karena kelompok Tionghoa menjadikan Malioboro sebagai kanal bisnis seperti sekarang ini. Yaa, hal itu menguatkan citra kaum tionghoa dengan kemahiran dagang mereka.

Di Malioboro sekarang ini, bisa memborong aneka barang yang diinginkan mulai dari pernak-pernik cantik, cinderamata unik, batik klasik, emas dan permata untuk oleh-oleh. Maka wajar sekarang, jalan Malioboro tak pernah sepi, baik di pagi, siang maupun malam hari, di hari libur ataupun dihari biasa sekalipun.

Namun sangat unik dan menjadi daya tarik para wisatawan tentang jalan Malioboro ini adalah keberadaan jalan itu sebagai bagian dari sumbu imajiner yang menghubungkan pantai parangtritis, panggung krapyak, kraton yogyakarta, tugu, serta gunung merapi. Beberapa tempat itu ternyata berada sejajar dalam satu garis lurus. Dan jalan malioboro ini salah satunya. Ini bisa kita buktikan dengan melihatnya disebuah peta.

“Din, poto cepat!” teriak Adnan meminta dipoto.

Ketiganya silih berganti berpose didepan lensa kamera. Dari satu gaya ke gaya lainnya, dari satu tempat ke tempat lainnya. Hingga mereka mulai kehabisan gaya, dan melanjutkan melangkahkan kaki menyisir jalan malioboro yang cantik itu.

Disepanjang jalan Malioboro ini ada sedikit yang unik, ternyata ditengah jalan raya terdapat jalur khusus yang diperuntukan bagi pengguna sepeda dan becak. Sehingga para pengayuh kendaraan tak bermesin itu dapat merasa aman berada dijalan raya tanpa harus berebut jalur dengan kendaraan bermotor. Selain itu, trotoar jalan untuk para pejalan kaki cukup lebar sehingga walaupun beberapa pedagang memasang lapaknya di trotoar tidak sampai mengganggu jalur pejalan kaki.

Berbicara soal transportasi, para masyarakat Yogya sangat mengandalkan keberadaan Bus trans Yogya. Kabarnya hampir seluruh rute disekitar kota yogya terlewati oleh jalur Bus trans Yogay itu. Harganya pun terhitung murah, hanya 3000 rupiah saja.

Intinya, Malioboro adalah rangkaian sejarah, kisah, dan kenangan yang saling berkelindan di tiap benak orang yang pernah menyambanginya. Pesona jalan ini tak pernah pudar oleh jaman. Eksotisme malioboro terus berpendar hingga kini dan menginspirasi banyak orang, serta memaksa mereka untuk terus kembali ke yogyakarta. Itu juga yang tengah ketiga pelancong itu rasakan.

to be continue... next week

kunjungi blog sya di http://omegoy.wordpress.com

trim's

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun