Mohon tunggu...
Egi Septiana
Egi Septiana Mohon Tunggu... -

Mencari terang dalam gelap

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Melancong

19 Desember 2011   15:36 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:02 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

MELANCONG

(Memorize of Yogyakarta 2010)

part 1

Nekad untuk Yogya

Setasion Kiara Condong Bandung dimalam itu mulai ramai, dipenuhi para penumpang. Setelah mengantri  membeli tiket dengan tujuan Setasion Lempeuyangan seharga 24 ribu rupiah, tiga orang pemuda yang menggendong ransel itu segera masuk ke area didalam setasion untuk menunggu kedatangan kereta yang akan mengangkut mereka menuju tempat tujuan.

Mereka adalah, Adnan, Tio, dan Udin. Ketiganya adalah para mahasiswa dari salah satu Universitas Islam negeri di Bandung. Ketiganya tengah menghabiskan masa libur semester yang tersisa dua mingguan lagi. Dan tujuan petualangan mereka adalah kota eksotis penuh sejarah, Yogyakarta. Ketiganya duduk santai diatas lantai menanti kedatangan kereta yang dijadwalkan tiba satu jam lagi.

“Yakin kita ke Yogya?” tanya Tio penuh basa basi menutupi ragunya.

Adnan dan Udin serentak mengalihkan pandangannya kearah Tio, “Harus siap donk!” jawab Adnan mantap. Sementara udin hanya tertawa melihat wajah Tio yang terlihat ragu-ragu sejak rencana ini muncul.

Keraguan Tio memang sangat wajar jika mengingat kembali ketika tiga hari yang lalu saat rencana berpetualang menuju yogya muncul begitu saja. Ketiganya memang sudah lama berkeinginan pergi ke yogya namun tidak menyangka akan terpenuhi hanya dengan modal nekad saja. Selain masalah uang yang pas-pasan, masalah besar adalah dari ketiganya, tidak ada satupun yang pernah menginjakan kaki di bumi yogya, walaupun hanya dari sebuah mimpi sekalipun. Mereka saat ini hanya bermodalkan peta yang Tio printout dan bergam informasi dari mbah google saja, dari mulai tempat-tempat wisata, harga tiket, makanan, rute jalan dan lain sebagainya.

Mereka menyebut dirinya backpacker. Ya,, istilah itu tepat bagi ketiga petualang nekad yang satu ini. Istilah backpacker merupakan sebutan bagi para pelancong yang ingin mendapatkan petualangan, pengalaman, kebebasan, sekaligus hiburan dengan modal pas-pasan alias bermodal nekad saja.

“Pokonya kita harus menikmati yogya sepuasnya,” seru Udin.

“Betul, setuju, kita lupakan masalah di kampus,” timpal Adnan. “Pokonya di Jogja nanti tidak boleh ada yang membahas masalah kuliah sedikitpun” tambahnya sambil memandang kedua temannya.

Kepergian mereka ke yogya memang bukan hanya sekedar liburan atau berpetualang. Lebih dari itu, mereka ingin melepaskan kepenatan mereka selama di kampus, dengan segudang rutinitas dan masalah-masalah perkuliahan, seperti nilai-nilai yang kosong, dosen-dosen mata duitan, birokrasi kampus yang semeraut, sampai beragam keputusan kampus yang hanya menguntungkan sekelompok orang saja. Semua itu membuat mereka kesal tampak ada yang bisa merubahnya. Karena kesemua itu seakan telah menjadi budaya, sehingga mahasiswa seperti mereka hanya bisa duduk kesal menerimanya dengan suka rela saja.

Mereka berharap, keindahan dan sejarah panjang kota yogya dapat membangkitkan semangat dan menginsfirasi mereka. Memang dibandingkan dengan kota-kota besar bersejarah lainnya, yogya termasuk memiliki masyarakat yang sangat menghargai sejarahnya. Di Bandung saja banyak peninggalan-peninggalan sejarah yg diabaikan, bangunan tua penuh heroik itu hanya menjadi bangunan yang sepi, angker, bahkan kumuh, sebagian lagi banyak bangunan yg beralih fungsi menjadi tempat perbelanjaan atau mal. Tak kalah dari bandung, Jakarta, lebih parah lagi.

"Wah telat nih kereta, sudah setengah sepuluh belon nongol juga." Ujar Udin yang mulai merasa kesal menunggu tiba sang kereta.

"Ente udah gak kuat ya, menginjakan kaki ditanah yogya?" canda Tio.

Sambil menghilangkan kesal menanti kereta, Adnan, Tio dan Nurdin terus ngobrol dan bercanda ngaler ngidul seputar apa saja yang nanti akan mreka lakukan ditanah yogya. Tak ketinggalan mereka juga membayangkan kemungkinan apa saja kesulitan yang kelak menghadang mereka. Diantara ketiganya, Tio yang paling bawel, ia tak henti menceritakan hasil bacaannya di internet tentang kota yogya, seakan-akan dia pernah berada disana.

“Di yogya banyak tempat wisatanya. Selain Malioboro yang terkenal itu, Pantai Parangtrritis, candi Perambanan, Kaliurang, Kraton Jogja dan banyak lagi yang tak kalah seru harus kita datangi.” Tio penuh semangat, “Dan uniknya, jarak antara tempat wisata satu dengan lainnya cukup dekat alias mudah dijangkau.” Lanjutnya. Mereka pun semakin tak henti membayangkan kedatangan mereka ke tempat-tempat tersebut.

Ditengah asik mengobrol, Tio mulai kehilangan daya tarik dari apa yang tengah mereka bicarakan. Ketertarikannya berpindah kearah lima meter disampingnya, menuju sepasang gadis yang tengah duduk berbincang. Kedua gadis yang cantik, tapi gadis dengan rambut panjang dengan switer putih yang membuatnya terpesona, menarik hatinya, dan menyentil pikirannya, Tio membayangkan dan bertanya-tanya siapa kah gadis cantik yang dari kejauhan mirip dengan Aura kasih itu. Bisakah aku berkenalan dengannya? Tapi aku tak cukup nyali melakukannya, gumam Tio. Gadis cantik dengan switer putih itu memiliki sesuatu yang menarik. Dari cara berbicara hingga pakaian yang dikenakannya mengalirkan aura perpaduan antara kecantikan dan kelembutan, keramahan, hingga kesucian seorang bidadari. Tio tak henti memandangnya dengan lekat.

“Bagi para penumpang harap menjauh dari rel perlintasan!” suara dari moncong speker itu mengejutkan Tio dari tatapannya kepada sang Gadis berswiter putih. “Tampaknya kereta nya sudah tiba,” seru Udin.

Suara gemuruh kereta mulai terdengar samar-samar dari kejauhan, tak lama sorot lampu kereta memancar, operator pegawai kereta kembali meminta para penumpang menjauh dari perlintasan dan meminta penumpang untuk bersiap-siap. Semakin mendekat kereta itu, semakin bising suara peraduan besi ditemani suara klakson kereta yang mengaung-aung tak henti. Berjubel orang yang tadi santai berubah menjadi riuh, berjejal berdiri dengan mengenteng barang bawaannya, bersiap  disamping-samping perlintasan kereta, menatap dan menanti kedatangan sang Ular Besi, kereta.

Dan saat kereta berhenti total, orang-orang langsung berhambur tak karuan, berebut, berhimpit-himpit masuk menuju gerbong kereta, inilah budaya rebutan di negara kita, orang-orang kita selalu sulit untuk tertib mengantri, dimana pun ada antrian, disitu pasti ada kekacauan karena berebut tak sabar. Dari mulai antrian sumbako, antrian tiket, sampai antrian beli handphone pun selalu menyisakan kekacauan. Tio terlihat tegang melihat situasi seperti sekarang ini. baginya ini pengalaman pertamanya akan merasakan perjalanan dengan kereta api. Sementara bagi Adnan dan Udin naik kereta sudah merupakan kesekian kalinya, sehinga mereka berdua terlihat lebih santai.

Tepat pukul sepuluh malah, kereta ekonomi itupun meluncur. Suara bising peraduan besi terdengar keras kembali, namun tak mampu mengalahkan suara kebisingan didalam gerbong kereta yang penuh sesak. Maklum saja, namanya juga kereta ekonomi, murah meriah. Beruntung Adnan, Tio dan Udin mendapatkan tempat duduk, tak harus berdiri bergelantungan memegang besi pegangan dan berdesakan dengan para pedagang asongan yang tak pernah diam hilir mudik bolak balik tiap waktu menawarkan dagangannya.

“Menurut mbah Google, kita baru akan sampai besok pagi jam enam atau jam tujuh, pokonya kurang lebih 9 jam-an dari bandung menuju Jogja.” Tio menjelaskan kepada kedua temannya tanpa diminta. Adnan dan Udin mengangguk sambil membetulkan posisi duduknya yang kurang nyaman.

Jogya secara geografis  berada diselatan jawa berbatasan dengan propinsi jawa tengah dan samudra hindia. Jogja memang terkenal dengan tempat wisatanya, oleh karenanya jogja merupakan salah satu wisata andalan negara kita setelah Bali. Namun bagi banyak orang Jogja lebih menarik ketimbang bali, karena menyimpan segudang kisah sejarah penting negara kita. Dari mulai kisah keberadaan kesultanan kraton Jogja yang masih ada sampai sekarang, hingga kisah ketika kota ini menjadi salah satu ibu kota negara Indonesia pada tahun 1946-1949.

Pukul 12 malam suasana kereta mulai sepi, penumpang mulai melepas lelahnya. Disepanjang perjalanan itu, ketiganya sudah tak sabar ingin segera sampai ke Jogja. Pikiran mereka tak henti memikirkan Bumi Yogyakarta yang kurang dari 6 jam segera didatangi mereka.

Yogya, Kami segera datang. Kami telah lama mendengar keindahan dan kisah tentang-mu. Telah lama kami merindukan-mu, dan sebentar lagi kami segera tiba. Hanya hitungan jam saja, kaki kami akan segera menginjak tanah-mu. Semoga kau melayani kami sebagai tamu-mu yang special tanpa pernah mengabaikan kami, wahay Yogya...

to be continue..

kunjungi http://omegoy.wordpress.com

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun