Namun, meski secara struktural lebih tinggi dan secara konstitusi sudah benar, Helmy lebih suka melawan Dewas. Ia merasa, bahwa penonaktifan Direksi (dalam konteks ini dirinya), jika: (a) tidak melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; (b) terlibat dalam tindakan yang merugikan lembaga; (c) dipidana karena melakukan tindak pidana berdasarkan putusan pengadilan dan memperoleh kekuatan hukum tetap; atau (d) tidak lagi memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud Pasal 22.
Helmy juga melawan Dewas yang menggunakan kata "penonaktifan". "Tidak ditemukan satu ayat pun dalam PP Nomer 13 Tahun 2005 yang menyatakan istilah 'penonaktifan' atau sejenisnya.
Kalaupun misalnya ada pelanggaran terhadap pasal 24 ayat (4) PP 13 tahun 2005, maka telah diatur dalam pasal 24 ayat (5), ayat (6) dan ayat (7)," begitu tulis Helmy di surat tanggapan terhadap Surat Dewan Pengawas.
Lalu, siapakah yang akan memenangkan dari kekisruhan di LPP TVRI ini?
Sungguh sangat kompleks. Betapa tidak, Dewas merasa punya alasan dan konstitusional, sementara Helmy merasa benar. Iklim tak sehat seperti ini sungguh sudah berat untuk menjadikan TVRI brand yang "berbeda".
Para petingginya saja tak kompak? Bagaimana bisa mengharapkan puluhan ribu karyawan untuk satu visi? Tagline "Kami Kembali" nyatanya bisa diplesetkan menjadi: "Kembali Kisruh". Padahal 24 Agustus lalu, TVRI baru saja merayakan miladnya yang ke-57.
Seharusnya, di usia lebih dari setengah abad ini, sudah banyak makan asam garam pengalaman. Baik pengalaman teknis maupun non-teknis. Nyatanya...
Salam Damai!