Mohon tunggu...
Ombrill
Ombrill Mohon Tunggu... Jurnalis - Videografer - Content Creator - Book Writer

Book Writer - Video Blogger - Content Creator

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Nggak Penting Jadi TV Nomor 1, Kalau...

25 Januari 2019   14:57 Diperbarui: 26 Januari 2019   13:16 294
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam industri televisi swasta nasional, rating masih tetap menjadi "dewa". Agency atau biro iklan masih menjadikan rating, sebagai tolak ukur mereka untuk belanja spot iklan di televisi. Dengan alokasi dana yang sudah dipercayakan pemilik produk ke agency, maka agency akan melihat sebuah program layak atau tidak dibiayai. 

Spot iklan di program acara tersebut, berharga tidak diisi oleh iklan-iklan produk yang dipegang oleh agency itu. Jika berharga, dana pun digelontorkan. Ia tak segan-segan mengorder berspot-spot iklan melalui Purchase Order (PO) pada sales marketing televisi.

Oleh karena rating masih penting, tak heran seluruh stasiun televisi swasta berlomba-lomba membuat program yang bakal meraih rating tinggi. Saking ingin mengejar rating tinggi, para pemilik televisi kadang tak peduli lagi content acara tak sesuai dengan norma-norma ketimuran. Perempuan-perempuan cantik berpakaian minim dipajang menghiasi program, baik program talk show, infotainment, maupun variaty show. 

Komedian-komedian dibiarkan saling mengejek, mengeluarkan kata-kata makian, dan joke slapstik. Atau narasumber-narasumber kontroversial diundang di acara debat, agar show dalam acara bincang-bincang jadi menarik. Tak ketinggalan, sinetron-sinetron yang menyebarkan virus-virus pergaulan bebas dan tak sesuai dengan budaya Indonesia, ditayangkan. Semua demi rating.   

Rating besar, tanda banyak penonton. Begitulah saat ini midset mayoritas orang. Pertanyaannya: apakah rating besar otomatis meraih income besar? Apakah rating besar menghasilkan uang melimpat dan profil stasiun televisi tersebut? Jawabannya: TIDAK!

Barangkali ada yang heran, kenapa rating besar tak menghasilkan uang? Kompasianers, rating besar tak berbanding lurus dengan sales yang bagus. Yang dimaksud sales yang bagus adalah pemasukan dari pemasang iklan. Agency yang sudah saya ceritakan di atas tadi, yang membelanjakan spot iklan di televisi tersebut. 

Jadi, sebuah stasiun televisi boleh jadi nomer 1, boleh duduk di puncak mengalahkan stasiun televisi lain, namun sales si stasiun televisi tersebut belum tentu besar. Ingat! Stasiun televisi swasta itu "hidup mati"-nya dari pemasukan iklan. Bukan seperti TVRI yang cukup menunggu gelontoran uang dari APBN. 

Karyawan televisi swasta itu digaji dari pemasukan iklan. Jika ada televisi swasta yang programnya keren, look on air-nya ciamik banget, para pemain atau host acaranya kelas satu dan mahal, tetapi di tiap commercial break tidak ada iklan, yang stres pasti si pemilik. 

Televisi yang iklannya nggak ada atau sedikit atau nggak sebanding dengan biaya produksi, pasti bleeding. "Berdarah-darah". Duit investasi si pemilik terkuras habis. Jika terkuras, resikonya pasti televisi tersebut mencari dana dari investor lain, supaya siaran mereka survive.

Tak ada pemilik televisi yang nggak mau untung dalam persaingan bisnis televisi. Coba tanya mayoritas pemilik televisi swasta, mereka senang jika televisi miliknya profit. Margin profitnya besar. Sales-nya keren abis. 

Mereka pasti bangga menjadi televisi nomer satu, karena ratingnya besar. Namun, rating bukanlah materi yang diinginkan si pemilik televisi. Rating besar, prestasi dengan mendapatkan penghargaan dari ajang kompetisi, sekadar image. Pencitraan. Tapi bukan tujuan.     

Buat apa bikin program dangdut yang ratingnya tinggi, namun produk-produk yang beriklan cuma sedikit? Meski dibuat keren penyanyinya, set dan look acara dangdut dibuat luar biasa, namun kalo salesnya nggak bagus buat apa? Rating gede, tapi nggak ada profit atau bisa nutup biaya produk, ya percuma. Atau bikin program talk show atau variaty show dengan Host dengan bayaran muahaal, tapi margin profitnya "0" (baca: nol), buat apa? Rating boleh besar, salesnya gimana? Profitnya berapa?

Nah, mulai sekarang, jangan mengejek televisi swasta yang nggak jadi nomer 1. Jangan mengolok-olok televisi swasta yang nongkrong di posisi ke-5 atau bahkan buncit. Televisi-televisi ini barangkali cuma punya sedikit program yang ratingnya besar. Namun,bisa jadi sales mereka jauh melampaui televisi swasta yang duduk di posisi pertama. Bahkan margin profit mereka besar, sehingga bisa membagi bonus besar pada karyawan mereka.  

Salam TV Sehat      

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun