Dalam industri televisi swasta nasional, rating masih tetap menjadi "dewa". Agency atau biro iklan masih menjadikan rating, sebagai tolak ukur mereka untuk belanja spot iklan di televisi. Dengan alokasi dana yang sudah dipercayakan pemilik produk ke agency, maka agency akan melihat sebuah program layak atau tidak dibiayai.Â
Spot iklan di program acara tersebut, berharga tidak diisi oleh iklan-iklan produk yang dipegang oleh agency itu. Jika berharga, dana pun digelontorkan. Ia tak segan-segan mengorder berspot-spot iklan melalui Purchase Order (PO) pada sales marketing televisi.
Oleh karena rating masih penting, tak heran seluruh stasiun televisi swasta berlomba-lomba membuat program yang bakal meraih rating tinggi. Saking ingin mengejar rating tinggi, para pemilik televisi kadang tak peduli lagi content acara tak sesuai dengan norma-norma ketimuran. Perempuan-perempuan cantik berpakaian minim dipajang menghiasi program, baik program talk show, infotainment, maupun variaty show.Â
Komedian-komedian dibiarkan saling mengejek, mengeluarkan kata-kata makian, dan joke slapstik. Atau narasumber-narasumber kontroversial diundang di acara debat, agar show dalam acara bincang-bincang jadi menarik. Tak ketinggalan, sinetron-sinetron yang menyebarkan virus-virus pergaulan bebas dan tak sesuai dengan budaya Indonesia, ditayangkan. Semua demi rating. Â Â
Rating besar, tanda banyak penonton. Begitulah saat ini midset mayoritas orang. Pertanyaannya: apakah rating besar otomatis meraih income besar? Apakah rating besar menghasilkan uang melimpat dan profil stasiun televisi tersebut? Jawabannya: TIDAK!
Barangkali ada yang heran, kenapa rating besar tak menghasilkan uang? Kompasianers, rating besar tak berbanding lurus dengan sales yang bagus. Yang dimaksud sales yang bagus adalah pemasukan dari pemasang iklan. Agency yang sudah saya ceritakan di atas tadi, yang membelanjakan spot iklan di televisi tersebut.Â
Jadi, sebuah stasiun televisi boleh jadi nomer 1, boleh duduk di puncak mengalahkan stasiun televisi lain, namun sales si stasiun televisi tersebut belum tentu besar. Ingat! Stasiun televisi swasta itu "hidup mati"-nya dari pemasukan iklan. Bukan seperti TVRI yang cukup menunggu gelontoran uang dari APBN.Â
Karyawan televisi swasta itu digaji dari pemasukan iklan. Jika ada televisi swasta yang programnya keren, look on air-nya ciamik banget, para pemain atau host acaranya kelas satu dan mahal, tetapi di tiap commercial break tidak ada iklan, yang stres pasti si pemilik.Â
Televisi yang iklannya nggak ada atau sedikit atau nggak sebanding dengan biaya produksi, pasti bleeding. "Berdarah-darah". Duit investasi si pemilik terkuras habis. Jika terkuras, resikonya pasti televisi tersebut mencari dana dari investor lain, supaya siaran mereka survive.
Tak ada pemilik televisi yang nggak mau untung dalam persaingan bisnis televisi. Coba tanya mayoritas pemilik televisi swasta, mereka senang jika televisi miliknya profit. Margin profitnya besar. Sales-nya keren abis.Â
Mereka pasti bangga menjadi televisi nomer satu, karena ratingnya besar. Namun, rating bukanlah materi yang diinginkan si pemilik televisi. Rating besar, prestasi dengan mendapatkan penghargaan dari ajang kompetisi, sekadar image. Pencitraan. Tapi bukan tujuan. Â Â Â