Mohon tunggu...
Ombrill
Ombrill Mohon Tunggu... Jurnalis - Videografer - Content Creator - Book Writer

Book Writer - Video Blogger - Content Creator

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Membedah 4 Ciri Stasiun TV Buzzer di Pilpres 2019

25 September 2018   20:47 Diperbarui: 26 September 2018   09:28 1724
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tak ada satu pemilik stasiun tv nasional mana pun yang berani mengaku, mereka bagian dari buzzer Capres-Cawapres tertentu. Seluruh Pemimpin Redaksi (Pemred) pasti mengatakan, siaran berita mereka tetap berimbang dan netral. Mengedapankan prinsip Kode Etik Jurnalistik. Padahal mayoritas tahu, Capres dan Cawapres mana yang menguasai media. 

Meski banyak warga masyarakat tahu dan di layar pun terbukti menjadi buzzer, namun selama Dewan Pers, Ikatan Jurnalistik Televisi Indonesia (IJTI), maupun Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) tidak memberikan sanksi pada stasiun tv buzzer ini, the show must go on. Paket-paket berita yang tak berimbang, tetap tayang di layar kaca.

Sebagaian dari Anda barangkali sudah mengenali tv mana yang penulis maksud. Bagi Anda yang belum tahu, berikut penulis coba beri tahu sebagian ciri tv nasional yang menjadi buzzer di Pilpres 2019 ini.  

1. JUMLAH PAKET BERITA

Dalam rangka Pileg maupun Pilpres biasanya tiap stasiun tv membuat program khusus liputan pemilihan anggota legislatif maupun pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Semua stasiun tv bikin jargon "terpercaya" atau "terdepan". Berharap dengan jargon tersebut, pemirsa percaya, tv mereka layak untuk ditonton dan menjadi referensi.

Padahal, jika teliti rundown program khusus pemilu ini, Anda pasti akan menemukan ketidakadilan dalam jumlah paket berita. Oleh karena pemilik tv mayoritas petugas parpol, maka parpol-parpol koalisi yang paling banyak diangkat. 

Dari durasi 30 menit program, jumlah parpol koalisi mendominasi, selebihnya parpol lawan. Masih mending yang ditampilkan semua parpol koalisi, yang terjadi justru mayoritas parpol yang dimiliki oleh pemilik tv.

Begitu pula juga dengan liputan Capres dan Cawapres. Jumlah paket berita yang muncul tidak berimbang. Jika dari 5 paket liputan tentang kampanye Capres-Cawapres, 4 paket liputan Capres-Cawapres gacoan, 1 paket untuk lawan.

2. DURASI PAKET BERITA

Boleh jadi Pemred mengatakan, jumlah paket berimbang. Misal, ada 6 paket berita. Masing-masing Capres-Cawapres mendapat jatah 3 paket berita. Bukankah itu seimbang? 

Nanti dulu! Teliti durasi masing-masing paket tersebut. Apakah semua paket durasinya sama? Yang terjadi, Capres-Cawapres jagoan stasiun tv tersebut, pasti mendapat porsi panjang. Sementara Capres-Cawapres lawan diberikan durasi minim.

3. KONTEN  BERITA

Sore ini saya melihat di salah satu stasiun tv. Selain jumlah paket dan durasi paket yang tidak seimbang, konten paket berita pun sungguh menyebalkan. Sejumlah paket Capres-Cawapres gacoannya ditayangkan, mulai dari liputan dukungan beberapa orang pada Capres-Cawpres tersebut sampai aksi mereka kampanye. Semua paket berita, kontennya postif. Namun begitu muncul paket Capres-Cawapres lawan, yang tayang cuma satu-satunya paket berita. Itu pun kontennya negatif.  

Melihat framing content seperti itu, pemirsa jadi dibuat tidak sehat. TV jadi digunakan untuk "mengkritisi" lawan politik. Tayangan tv digunakan untuk mengaburkan kebenaran. Yang juga sering, tv jadi digunakan untuk "kampanye" golongan atau pemilik. 

4. NARASUMBER  SOT

Sebenarnya tanpa menghitung berapa jumlah paket berita yang tayang, Anda pasti sudah tahu, tv nasional ini cenderung pro ke Capres-Cawapres mana. Caranya? Kenali narasumber yang muncul. Selain narasumber untuk talk show, narasumber yang muncul tiap sound on taped (SOT) dalam sebuah paket berita.

Di satu tv nasional, ada narasumber yang sampai detik ini masih laku keras. Meski narasumber ini sudah di-bully di media sosial (medsos), karena kebodohan hasil surveinya, namun sejak Pilpres 2014 lalu sampai sekarang masih tetap eksis. Kenapa laku? Sebab, narasumber ini bersedia menjadi juru bicara Capres-Cawapres jagoan pemilik stasiun tv nasional, plus menjadi tameng.

***

Nah, pesan penulis, jika setelah menonton Anda langsung melihat ciri-ciri di atas, segera matikan tv atau segera pindah kanal. Anda sebaiknya mencari info mengenai Capres-Cawapres bukan di stasiun tv buzzer. Sebab, sudah pasti tidak objektif dan menghabiskan waktu. 

Untuk mencari info yang tepat, pilih stasiun tv yang memang tidak dimiliki oleh petugas parpol. 

Kenapa penulis minta Anda tinggalkan stasiun tv buzzer? Sebab, Anda akan kena dampak negatif. Apa itu? Anda dan para penonton lain jadi tidak mendapatkan informasi yang benar dan utuh. Anda dan para penonton menjadi bingung: fakta atau rekayasa? Apakah cuma kebohongan yang ditutupi dengan pencitraan. 

Apa lagi dampak negatifnya? Kita digiring untuk mendukung Capres-Cawapres tertentu (namanya juga buzzer). Terakhir, otak pemirsa dicuci dan akhirnya tidak objektif dalam menilai sosok Capres-Cawapres.

Salam TV Sehat  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun