Mohon tunggu...
Ombrill
Ombrill Mohon Tunggu... Jurnalis - Videografer - Content Creator - Book Writer

Book Writer - Video Blogger - Content Creator

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Bingkai Berita Berlipat Jauh Lebih Berbahaya Ketimbang Laras Senapan

28 Agustus 2018   13:11 Diperbarui: 29 Agustus 2018   11:09 2619
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Twit Dewan Pers mensosialisasikan Surat Edaran Dewan Pers | dokpri

"Bila datang padaku era Dwi Fungsi Jurnalis. Aku tak mendengar berondongan senjata seperti saat Dwi Fungsi Tentara. Aku hanya membaca/ dengar/ tonton berondongan berita yang tak otakku piker sebagai berita framing. Lalu lama-lama aku mati walau tanpa peluru yang bersarang di otakku..."

Budayawan Sudjiwo Tedjo merasa gerah. Kegerahan tersebut diungkapkan di akun twitternya dalam dua hari ini. Menurutnya, Jurnalis-jurnalis yang ada di media sekarang ini tak cuma menjalankan fungsinya menjadi jurnalis. Namun, mereka sudah menjalankan fungsi lainnya sebagai buzzer. Fungsi buzzer ini yang diistilahkan mas Tedjo sebagai Dwi Fungsi.

Jika mas Tedjo baru merasa gerah pada 2018 ini, penulis justru sebaliknya, sudah lama merasakan sejak Pilkada DKI Jakarta 2012. Kala itu, penulis merasakan aroma tak sedap pada sejumlah media. 

Meski tak terang benderang, namun Dwi Fungsi yang dikatakan mas Tedjo sudah dikembangbiakkan oleh sejumlah Pemimpin Redaksi (Pemred) yang bekerja di media partisan atau berkolaborasi dengan konglomerat pemilik kepentingan. 

Pemred ini, ada yang coba berlaku objektif, namun tak bisa berkutik, karena pemilik media adalah petugas parpol. Ada Executive Produser atau Produser yang kritis, namun akhirnya mingkem, karena mereka butuh pekerjaan. Para jurnalis yang berada di media seperti itu terpaksa mengikuti perintah atasan, menjalankan Dwi Fungsi-nya sebagai buzzer. 

Yang tak tahan bekerja di media partisan, masih kuat idealismenya, memilih resign. Sementara yang takut resign dan bertahan, terpaksa ikut perintah atasan. Framing berita pun mereka jalankan secara bertubi-tubi di media cetak, online, maupun di layar televisi. Sungguh miris!

Beberapa waktu lalu, Dewan Pers menerbitkan Surat Edaran Dewan Pers bernomer 02/SE-DP/VIII/2018 tentang Posisi Media dan Imparsialitas Wartawan Dalam Pemilu 2019. 

Isi surat edaran, menegaskan kembali peran pers. Ada 4 poin: 

(1) "Pers nasional melaksanakan perannya memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui" (Pasal 6 Butir a, UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers); 

(2) "Pers nasional melaksanakan perannya mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar" (Pasal 6 Butir c UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers); 

(3) "Pers nasional melaksanakan perannya melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum" (Pasal 6 Butir d UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers); 

(4) "Pers nasional melaksanakan peranannya memperjuangkan keadilan dan kebenaran" (Pasal 6 Butir e UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers).

Banyak orang menilai, surat edarat tersebut terlambat. Sebab, Dwi Fungsi Jurnalis sudah berlangsung lama, jauh sebelum Pilkada 2018 atau Pilpres 2019. Jadi seharusnya Surat Edaran seperti itu, sudah dibuat dan diedarkan ke seluruh pemilik media pada 2014 lalu atau Pilpres lalu. Namun, meski telat, tentu apa yang dilakukan Dewan Pers ini, petut diapresiasi. 

Saat ini, Indonesia memang sudah darurat Jurnalis. Bukan darurat karena kekurangan Jurnalis, melainkan darurat menemukan Jurnalis-Jurnalis yang mengikuti Pasal 1 Kode Etik Jurnalistik "Selalu bersikap independen dengan memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nurani dan menghasilkan berita yang akurat, dipercaya, dan objektif". 

Darurat Jurnalis yang patuh pada Deklarasi Hari Pers Nasional (HPN) 2014 di Bengkulu, yakni pers Indonesia harus bisa menjadi wasit dan pembimbing yang adil, menjadi pengawas yang teliti dan seksama terhadap pelaksanaan Pemilu 2019, bukan sebagai 'pemain'. 'Pemain' yang dimaksud di sini melakukan Dwi Fungsi sebagai buzzer cukong atau "Tukang Framming".

"Framing berita berlipat jauh lebih berbahaya ketimbang laras senapan," tulis mas Tedjo dalam akun twitternya.

Twit Dewan Pers mensosialisasikan Surat Edaran Dewan Pers | dokpri
Twit Dewan Pers mensosialisasikan Surat Edaran Dewan Pers | dokpri
Masih mengenai Surat Edaran tertanggal 16 Agustus 2018. Selaku Ketua Dewan Pers, di surat tersebut Yosep Adi Prasetyo menegaskan, Jurnalis yang memilih untuk maju menjadi calon anggota legislatif atau anggota DPD, ataupun menjadi anggota tim sukses parpol atau tim sukses calon Presiden dan Wakil Presiden, segera non-aktif sementara sebagai jurnalis. Alternatif kedua, mengundurkan diri secara permanan.

Pengunduran diri yang ditegaskan oleh Ketua Dewan Pers sepertinya tak berlebihan. Betapa tidak, non-aktif tak menjamin seorang Jurnalis benar-benar berhenti dari kegiatan meliput dan mengabarkan. Yang tahu hanya Pemilik, Pemred, HRD, dan Tuhan. Sementara si Jurnalis masih terikat dengan media tersebut. Tetap jadi karyawan dan digaji bulanan. Enaknya lagi, selama kampanye dimodali pemilik media. Begitu tak terpilih jadi anggota DPR atau DPRD, si Jurnalis kembali ke bekerja seperti biasa. 

Namun, jika menggundurkan diri, Jurnalis jelas tak punya kepentingan pada media mana pun. Tak perlu takut lagi dengan perintah Pemred harus pilah-pilih narasumber untuk diminta statement. Tak ragu-ragu membuat paket berita, yang mengkritisi Kubu A maupun Kubu B. Tak kawatir tidak digaji jika membuat berita mengenai fakta positif apa yang dilakukan oleh Kubu A atau Kubu B.  

Mengenai Jurnalis harus mengundurkan diri jika jadi Timses tersebut, juga sempat diungkapkan mas Tedjo. Di akun twitternya, pria yang juga dikenal sebagai Pendalang ini menulis, "Seluruh wartawan atau wartawati juga harus mundur jika jadi timses".  

Nah, sekarang, tinggal kontrol dari Dewan Pers pada seluruh media, baik media cetak, online, maupun elektronik, untuk taat pada Surat Edaran tersebut. Jika tidak taat dan dalam prakteknya ditemukan pelanggaran, apa sanksi bagi media maupun bagi si Jurnalis. 

Apakah Jurnalis dipecat dari media bersangkutan? Atau cukup dibatalkan keanggotaannya sebagai insan pers? 

Semoga, Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), maupun asosiasi Jurnalis lain, juga seirama dengan apa yang dilakukan oleh Dewan Pers. Dengan begitu, seluruh lembaga pers turut menjaga marwah pers Indonesia agar kembali ke jalan yang benar.  

Salam Pers Indonesia!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun