Mohon tunggu...
Ombrill
Ombrill Mohon Tunggu... Jurnalis - Videografer - Content Creator - Book Writer

Book Writer - Video Blogger - Content Creator

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

"Udah Lumayan Sering Kru Kena Timpuk Suporter Bola..."

21 Juni 2018   20:41 Diperbarui: 22 Juni 2018   16:24 906
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Stadion Gelora 10 November Tambaksari, Surabaya tiba-tiba rusuh. Ribuan bonekmania mengamuk dan berbuat anarkis. Mereka membakar tiga mobil dan merusak sejumlah fasilitas stadion.  Mobil yang dibakar dua di antaranya milik kru ANTV yang sedang bertugas di dalam stadion dan serta mobil truk pengangkut peralatan milik ANTV. Kejadian ini muncul usai pertandingan babak delapan besar Copa Indonesia, antara tuan rumah Persebaya melawan Arema Malang, yang berakhir 0-0.

Begitulah duka dalam sebuah pertandingan sepakbola di Indonesia. Kejadian terparah pada 2006 seperti di atas, sudah pernah Uus Rusamsi rasakan selama menjadi Program Director (PD) pertandingan sepakbola. Kerusuhan yang dilakukan oleh bonek tersebut merupakan pengalaman terburuknya. Sebelumnya, ada pula kerusuhan di lapangan sepakbola, di Stadion Siliwangi, Bandung, saat ANTV melakukan siaran langsung.

"Lebih parah kejadiannya. Body camera terkena lemparan batu," ujar Uus.

***

Uus adalah salah satu PD pertandingan olahraga yang dimiliki ANTV. Sebetulnya, sebelum Uus, ada sejumlah PD sepakbola lain yang sempat lahir dari televisi milik Visi Media Asia (Viva) ini. Harap maklum, pada 1993, ANTV sempat memposisikan sebagai tv sport dengan menayangkan program-program olahraga, terutama sepakbola. Kala itu, dengan dipimpin oleh Reva Dedy Utama (kini Direktur Teknik dan Olahraga tvOne), tim ANTV sebanyak 15 orang meliput siaran Sea Games 93 di Singapura. Oleh karena ingin terus memproduksi siaran pertandingan olehraga dan juga sepakbola sendiri (in-house production), tim sport ANTV sempat berguru dengan stasiun televisi TF1 Perancis.

"Saya nggak pernah di training secara informal, tetapi belajar dari para senior-senior," aku Uus seperti merendah.

Meski "cuma" belajar otodidak, namun Uus berhasil dipercaya untuk bertanggung jawab sebagai seorang PD sepakbola. Anda tahu, menjadi PD itu tidak mudah. Istilah dalam film, PD itu adalah seorang Sutradara. Posisi ini berpengaruh pada aspek teknis dan non-teknis, serta estetika di layar. Bedanya dengan Sutaradra, PD harus jeli melihat layar monitor yang jumlahnya lebih dari satu. Selain memerintahkan penata kamera untuk mengambil gambar, PD juga harus cepat mengambil keputusan. Keputusan apa? Keputusan mengambil gambar A atau B dari gambar C, D, E, dan seterusnya yang ada di monitor itu tadi. Jika salah keputusan, maka momentum hilang.

"PD sepakbola itu beda dengan PD acara hiburan," ujar Uus tanpa menjelaskan perbedaan dengan detail. "Karena saya nggak pernah pegang program lain".

Namun yang pasti, seperti yang sudah dipaparkan di atas, bahwa PD sepakbola itu salah satunya harus cepat mengambil keputusan. Penonton tentu merasa puas jika gambar yang muncul di layar, sesuai dengan keinginan mereka. Minimal, di setiap pertandingan sepakbola yang selama ini Uus tangani, ada 8 kamera. Nah, jika dari 8 kamera tersebut salah posisi atau terlewatkan momentum saat pemain membawa bola dan menggolkan bola ke gawang lawan, sudah pasti penonton akan kecewa. 

Oleh karena itu, jangan berharap, PD sepakbola melakukan beauty shot sebagaimana PD acara musik, variety show, atau acara hiburan lain. Paling-paling shot yang diambil adalah ekspresi penonton atau establish shot stadion.  

"Kita tidak cuma memikirkan teknis, soal penanyangan, tetapi juga harus berpikir dan bertindak cepat untuk menyelamatkan peralatan dan juga kru dari kerusuhan," aku Uus. Harap maklum, resiko kerusuhan dalam pertandingan sepakbola di tanah air masih sering terjadi. Memang, di luar negeri juga ada kerusuhan, tetapi kuantitasnya tidak sebanyak di tanah air.

Berdasarkan pengalaman, jumlah 8 unit kamera untuk sebuah pertandingan sepakbola sudah sangat minim. Untuk stadion sebesar Gelora Bung Karno (GBK), Uus biasanya meminta 16 unit kamera. Jumlah dua kali lipat tersebut tergantung dari stadionnya. Semakin besar sebuah stadion dan ruang untuk pergerakan kamera nyaman, unit kamera yang digunakan pun semakin banyak. Makanya jangan heran, saat ini seluruh stadion di Piala Dunia Rusia memakai 33 unit kamera.

***

Sejak 2011, Uus mulai "nyebur" menjadi PD sepakbola. Saat itu, kebetulan ANTV butuh tim produksi bola sangat banyak. Dari awalnya seorang campers sport (liputan olahraga), ia mulai belajar jadi Floor Director (FD). Dari FD, ia kemudian menjadi Production Assistence (PA), dan akhirnya duduk menjabat sebagai Produser. Nah, dengan menjadi Produser, Uus kemudian  rangkap jabatan menjadi PD.

Selama ini, di sejumlah televisi nasional, memang masih ada rangkap jabatan Produser PD. Kebetulan penulis juga pernah mengalami rangkap jabatan menjadi Produser PD. Ya jadi Produser, ya juga memegang kendali sebagai seorang PD. Namun belakangan, ketika PD sudah semakin banyak, stasiun televisi sudah tidak lagi memberikan pekerjaan Produser untuk menjadi PD. Hal ini agar seorang Produser lebih fokus pada pekerjaannya yang memang sudah sangat berat.

"Menjadi PD sepakbola, ya harus suka bola," ujar pria lulusan Universitas Gunadarma jurusan Manajemen Informatika ini, seolah memberi salah satu tips jika hendak menjadi PD acara sepakbola. "Dengan menyukai bola, maka akan merasakan 'feel'-nya permainan sepakbola, apalagi kalau sering nonton pertandingan bola luar negeri".

Uus saat menjadi PD Pertandingan Papua Persipura Jayapura vs Perseru Serui (2014)
Uus saat menjadi PD Pertandingan Papua Persipura Jayapura vs Perseru Serui (2014)
Dengan menyukai dan sering melihat pertandingan sepakbola, Uus belajar bagaimana mengambil gambar pertandingan sepakbola dengan baik. Tentu, hal tersebut ditambah dengan belajar secara otodidak dan dimentori oleh para senor di ANTV. Ia sudah hafal, rumus menempatkan posisi kamera di dalam sebuah stadion. Semua kamera, harus mewakili mata penonton di rumah.

Posisi kamera master harus berada 5 meter dari pinggir lapangan, sehingga bisa mengambil dua tim yang ada di posisi kiri dan tim di posisi kanan.  Kamera master ini menggunakan level (semacam panggung kecil berukuran 3x3 meter) setinggi 7 sampai 10 meter. Dengan posisi tinggi seperti itu, maka pengambilan gambar para pemain dari kamera master, jadi terlihat semua. Semua kamera harus berstandar broadcast dengan lensa yang memiliki kemampuan 33 kali zoom atau lensa tele. Tentu tidak semua kamera menggunakan lensa tele.

"Saat jadi PD Liga Indonesia, saya menggunakan 8 camera, dimana 4 kamera menggunakan lensa tele, 4 kamera menggunakan lensa standard".

***

Bagi Uus, semua pertandingan menarik. Tak ada pengalaman selama jadi PD sepakbola, yang tidak menarik. Sebab, masing-masing pertandingan, punya cerita berbeda. Soal kerusuhan, sebagaimana dikisahkan di awal, cuma satu dari puluhan pengalaman selama menjadi PD. Ada pula pengalaman menarik lain, ketika hendak live pertandingan Persipura di Jayapura. Dengan kru minim, yakni 4 penata kamera, Uus dan tim teknis sudah siap untuk melakukan live. Bagian programin pun sudah memberikan slot live untuk pertandingan bola. Namun, live batal.

"Masalahnya sepele. Cuma perbedaan waktu," ingat suami Dewi Warsito dan dua putra: Awan dan Rimba ini. "Oleh karena panitia tidak mau menggeser, maka pertandingan tetap dilaksanakan pada waktu di Jayapura. Mereka tak mau mengikuti kemauan pihak tv sebagai pemegang hak siar. Akhirnya kami merekam pertandingan tersebut, lalu mengirim hasil rekeman, dan langsung tayang (taped delay)".

***

Bertahun-tahun menjadi PD sepakbola di tanah air, sampai kini Uus belum melihat keseriusan pemerintah -- baik pemerintah pusat maupun daerah-- untuk mengelola stadion sepakbola dengan sesuai standar broadcast.

"Itulah 'hebat'-nya Indonesia. Pembangunan sejumlah stadion yang megah, tatapi tidak memikirkan sisi broadcast," kritik Uus.

Banyak pejabat yang kerap mengatakan, ingin menjadikan sepakbola sebagai industri. Namun faktanya, saat pembangunan stadion, posisi untuk kamera di stadion tersebut, tidak dipikirkan, apalagi jalur perkabelan, baik kabel untuk video, audio, maupun kabel-kabel untuk konsumsi siaran pertandingan sepakbola live.

"Sekelas GBK yang menghabiskan dana hampir Rp 1 triliun, juga tidak memikirkan aspek broadcast".

Ketika survei ke GBK, paska renovasi, Uus sempat geleng-geleng kepala. GBK tidak memiliki control room untuk broadcast tv. Tidak ada pengamanan untuk titik-titik dimana posisi kamera ditempatkan. Padahal, pengalaman selama ini, penata kamera dan juga unit kemera sangat rawan terkena imbas dari kerusuhan di stadion.

"Anda tahu? Udah lumayan sering kru tertimpuk lemparan-lemparan dari supporter. Kamera pun sering kena timpuk. Pernah body kamera kena timpuk. Parah. Akhirnya kemeranya langsung 'pensiun'."

Menurut Uus, sangat disayangkan jika di tingkat pusat, aspek broadcast tidak dipikirkan sama sekali. Jika pusat tidak memikirkan, apalagi tingkat daerah.  Padahal, di negara tetangga, semua sudah dipikirkan, apalagi stadion-stadion yang dipakai dalam penyelenggaraan Piala Dunia. Sebagai PD, Uus berharap, Indonesia di kemudian hari punya stadion sepakbola yang ramah pada kepentingan penyiaran. Dengan begitu, tak ada lagi body kamera rusak atau kepala penata kamera benjol, gara-gara ditimpuk suporter.

Salam Sepakbola!

    

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun