"Berdasarkan pernyataan narasi siaran Metro TV yang menyebut peserta Aksi Reuni 212 adalah kaum intoleransi yang merayakan kemenangan dari praktek intoleransi membuat peserta aksi dan masyarakat lainnya tersinggung dan marah. Salah satu peserta aksi yakni Ketua Umum DPP Pengusaha Indonesia Muda Sam Aliano merasa tersinggung dan terhina dengan siaran Metro TV tersebut. Untuk itu, Sam Aliano dan masyarakat peserta aksi lainnya melaporkan siaran Metro TV..."
Info tersebut penulis dapatkan melalui WA sore ini. Akibat sebuah narasi di paket Editorial Media Indonesia, Metro TV diadukan ke Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat. Narasi dalam paket berjudul Meneladani Toleransi Sang Nabi ini ditayangkan pada Jumat, 1 Desember 2017, satu hari sebelum Reuni Alumni 212 berlangsung di Monas. Â
Berikut cuplikan narasi yang membuat Metro TV dilaporkan dan kini menjadi Editorial MI Gate:
"Celakanya intoleransi itu dipraktekkan untuk kekuasaan politik dengan mengatasnamakan agama. Lebih celaka lagi, mereka berencana berkumpul merayakan intoleransi itu dengan gegap gempita, huh..."
Bukan kali ini saja Metro TV tersangkut masalah. Pada awal September 2012, Metro TV sempat diprotes, lantaran dianggap melebelkan kelompok Rohis sebagai sarang teroris melalui infografis. Kala itu, pihak Metro TV sempat menyampaikan surat resmi dan tayangan ke KPI dan Dewan Pers. Dalam surat tersebut, Metro TV membantah telah menyebut Rohis sebagai sarang teroris. Ketiga narasumber yang hadir pun juga tak pernah menyebutkan, Rohis sebagai sarang teroris dalam dialog. Â Namun, nasi sudah menjadi bubur, sejumlah unjuk rasa sempat berlangsung, memprotes keras atas dialog dan infografis di Metro TV.
![slide3-jpg-5b2ce93a5e137340ad787e54.jpg](https://assets.kompasiana.com/items/album/2018/06/22/slide3-jpg-5b2ce93a5e137340ad787e54.jpg?t=o&v=770)
Boleh jadi, apa yang dialami Metro TV hari-hari, cukup ironis. Betapa tidak, ketika stasiun televisi yang bermarkas di Kedoya, Jakbar ini baru saja mendapat penghargaan dari Kementerian Agama RI dalam kategori penanyangan pendidikan Islam di layar kaca, paket Editorial MI yang narasinya cenderung tendensius, justru tayang. Makin ironis, ketika Metro TV mulai mencoba kembali "mendekatkan diri" pada penonton muslim yang sebelumnya anti --melalui tayangan Syiar Kemuliaan dan Khazanah Islam--, Editorial MI Gate pun muncul.
![Metro TV meraih penghargaan dari Kemenag](https://assets.kompasiana.com/items/album/2018/06/22/slide2-jpg-5b2ce81ccf01b445aa422164.jpg?t=o&v=770)
Namun sayang, kemunculan Ustadz Firanda di Khazanah Islam akhirnya harus terkalahkan dengan sejumlah protes dari para netizen terhadap penayangan Editorial Media Indonesia. Jagat medsos pun gaduh lagi. Mayoritas netizen menyayangkan penayangan Editorial MI. Â Â
"Ini bukan hanya salah kaprah tetapi tuduhan yang serius," begitu komentar Fahira Idris, senator yang baru saja terpilih menjadi Ketua Komita III DPD RI. "Aksi 212 tahun lalu itu ikut dihadiri presiden dan wapres serta hampir semua petinggi republik ini. Apa mungkin mereka mau hadir jika Aksi 212 adalah aksi intoleran".
Sebetulnya Metro TV sudah belajar banyak dari kejadian sebelumnya. Kejadian-kejadian yang sudah dialami Metro TV sebelum Editorial MI Gate, seharusnya bisa menjadi bahan pertimbangan dewan redaksi untuk lebih berhati-hati. Penulis yakin, di usia ke-17, Metro TV mampu untuk menjaga amanah itu, apalagi baru mendapat predikat televisi yang menyebarkan pendidikan agama Islam di Indonesia.Â