Bisnis televisi dan kepentingan politik memang tak bisa terpisahkan. Kalau boleh penulis anologikan, ibarat dua sisi mata uang yang tak terpisah. Di satu sisi, televisi bertugas memberikan informasi dan hiburan. Namun di sisi lain, ada kepentingan-kepentingan politik yang tak bisa terhindarkan. Â Kejadiannya bukan belakangan terjadi, tetapi sudah sejak Indonesia mengenal televisi.
Mari kita kilas balik sejarah TVRI. Presiden Republik Indonesia ke-1 Ir. Soekarno secara politis memutuskan, memasukkan proyek media massa televisi ke dalam proyek pembangunan Asian Games IV. Soekarno meminta Menteri Penerangan Maladi mengeluarkan Surat Keputusan (SK) tentang pembentukan Panitia Persiapan Televisi (P2T) pada 25 Juli 1961.
Soekarno yang sedang berada di Wina mengirimkan teleks kepada Menpen untuk segera menyiapkan proyek televisi. Meski persiapan tinggal 10 bulan, Menpen diminta sang Presiden untuk membangun studio di eks AKPEN di Senayan, membangun dua pemancar, serta mempersiapkan sofware (program dan SDM). Tepat pada 24 Agsutus 1962, TVRI mengudara untuk pertama kali saat siaran pembukaan Asian Games IV dari stadion utama Gelora Bung Karno.
Tak cuma TVRI yang berada di pusaran politik, televisi swasta pun mengalami. Di era Orde Baru (Orba), hampir semua saham televisi dikuasai oleh Keluarga Cendana. Sebut saja RCTI maupun TPI. Tentu kepentingan politik yang dijalankan pemerintah sangat kental. Baik RCTI maupun TPI tak berani menentang pemerintah. SCTV lah yang berani "melawan" pemerintah, terlebih lagi detik-detik reformasi pada 1998.
Kala ANTV baru menginjak tahun-tahun awal kelahirannya, penulis sempat merasakan aroma Golkar. Berita mengenai "partai kuning" mewarnai di program berita Cakrawala. Oleh karena menguasai ANTV, parpol ini bagai gurita. Pendapatan dari iklan yang diraih tim sales marketing ANTV, sebagian terkuras untuk kebutuhan Golkar. Jangan heran, penulis dan teman-teman di ANTV saat itu sempat merasakan kegoncangan finansial. Kegoncangan menyebabkan keterlambatan gaji.
Di zaman Orde Baru (Orba), televisi memang dimanfaatkan sebagai alat propaganda. Selain untuk mempublikasikan pembangunan, televisi juga menjadi alat konsolidasi kekuasaan. Sajian-sajian berita di RCTI maupun Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) banyak diwarnai pencitraan orang-orang atau para pengusaha yang berafiliasi dengan Keluarga Cendana.Â
Peta bisnis televisi mulai berubah begitu Orba tumbang. Televisi mulai terpolarisasi. Ada televisi yang pro terhadap kubu A, ada televisi yang pro terhadap kubu B. Terlebih lagi ketika era pemilihan langsung dimulai. Televisi mulai mencekoki penonton dengan sejumlah tayangan berita dan survei yang bisa memengaruhi penonton (baca: tayangan [pencitraan). Begitu Owner dekat dengan calon Presiden (capres), mulailah kebijakan di dalam televisi berubah. Wajib menayangkan capres di tiap berita. Jika perlu, capres tampil di acara favorit di televisi itu. Di situlah gurita parpol terjadi. Â Â
Era sekarang, tak jauh beda dengan era sebelumya. Gurita partai politik masih tetap menghantui bisnis televisi. Tak perlu dijelaskan lagi, mayoritas penonton sudah tahu, bahwa MNC dan Metro TV dimiliki oleh pemilik perpol. MNC membawa bendera Partai Persatuan Indonesia (Perindo), sementara Metro TV dengan Partai Nasional Demokrat (Nasdem). Â Â Â
Jika tadi penulis infokan, ANTV sempat guncang, --gara-gara beberapa tahun lalu, gurita parpol mengganggu bisnis ANTV,-- kini tak lagi. ANTV sekarang dikelola lebih profesional. Bahkan beberapa kali, ANTV menjadi stasiun televisi hiburan nomer 1. Kondisi keuangan ANTV membaik sejak 2014 lalu.
Laporan yang penulis kutip detikFinance, pendapatan ANTV meningkat 52,5% menjadi Rp 576,27 miliar (2014). Padahal pada 2013 cuma mendapat Rp 377,88 miliar. Menurut Presiden Direktur PT. Intermedia Capital Tbk atau MDIA (pemilik saham ANTV) Erick Thohir, ANTV berhasil menjadi salah satu tv dengan tingkat efisiensi yang membanggakan. Dari data AC Nielsen, pada 2017, ANTV berhasil mempertahankan posisi sebagai stasiun dengan audience share rata-rata 15,0 selama semester I 2017.
Kini, ANTV lebih sehat, profesional. Berbeda dengan televisi yang terjerat gurita parpol. Setiap bulan, bagian keuangan pusing tujuh keliling. Pusing bukan cuma mengurus biaya operasional televisi, tetapi harus berbagi dana ke parpol yang dimiliki owner televisi bersangkutan. Televisi harus mensubsidi parpol. Duit dari iklan dikucurkan untuk keperluan parpol, mulai dari Pusat, cabang, sampai ranting. Memang tak semua uang dikucurkan, tetapi lumayan banyak.
Seorang teman dari stasiun televisi kemarin bercerita. Salah satu televisi yang masih berada dalam gurita parpol mulai "kurang gizi". Bayangkan saja, satu ranting parpol (Dewan Pimpinan Ranting) bisa mendapat subsidi per bulan senilai 50 juta perak. Tentu, parpol tak cuma punya 100 ranting. Bisa Anda bayangkan, berapa jumlah angka yang harus dikucurkan untuk semua cabang, pimpinan daerah, bahkan pimpinan pusat.Â
Dana-dana untuk parpol pasti akan makin membengkak di saat Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak nanti, apalagi saat Pemilihan Presiden (Pilpres). Betapa tidak, parpol butuh banyak uang. Sebaliknya, belanja iklan kini merosot, mau tak mau bagian keuangan di televisi harus putar otak. Apa tidak pusing bagian keuangan?
Jika kondisi tersebut dibiarkan, konsekuensi yang akan ditanggung stasiun televisi bersangkutan adalah efisiensi. Bisa efisiensi dari pemangkasan operasional, mulai dari pemotongan bonus, efisiensi perjalanan dinas, sampai pemadaman listrik di kantor pada jam tertentu. Jika sudah kepepet, jalan terakhir adalah mem-PHK karyawan. Namun biasanya, televisi jarang yang mem-PHK karyawan, karena ongkos terlalu besar. HRD lebih suka menunggu karyawan yang tidak betah (atau dibuat tidak betah), sehingga si karyawan lebih memilih resign. Dengan resign, biaya yang dikeluarkan HRD untuk si karyawan menjadi lebih kecil.
Saat ini yang barangkali yang masih "selamat" dari gurita parpol adalah Trans Corp, dimana terdapat Trans TV, Trans 7, dan CNN. Secara sharedari data AC Nielsen, Trans TV maupun Trans 7 kini memang cuma duduk di posisi ke-5 dan ke-6. Namun, kondisi keuangan relatif masih lebih aman, karena owner Trans Corp tak punya parpol. Rangking share RCTI boleh di atas. Revenue MNC grup boleh selangit, lantaran sejumlah sinetronnya box office. Tapi jika berangkas uangnya digembosi oleh parpol, lama kelamaan bisa bleeding juga.Â
Owner Trans Corp lebih suka menghabiskan uang untuk investasi bisnis, ketimbang mengurus parpol. Sang owner tak mau berparpol, boleh jadi, karena tak mau menambah pusing kepala, karena masih banyak dana tersedot ke CNN, yang hingga kini masih bleeding alias belum break even point (BEP). Entahlah jika CNN sudah BEP, bahkan profit, lalu ada parpol siap usung sang Owner jadi calon Presiden, peta bisnis Trans Corp tentu akan berbeda. Â Â Â Â
Salam sehat!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H