Paling hangat, berita sebuah proyek raksasa seorang konglomerat. Di proyek ini, ada nilai beritanya (news value). Masih kontroversial, tapi punya informasi yang wajib diketahui oleh warga atau penonton. Apa yang menyebabkan kontroversi? Jika warga tetap cuek dan tergiur promo tersebut, apa konsekuensinya? Apa dampak negatif proyek raksasa ini bagi bangsa Indonesia?
Sekarang pertanyaannya: berapa banyak media yang memberitakan? Berapa berita tentang proyek kontroversi tersebut ada koran? Berapa paket berita sudah di televisi ditayangkan? Kalau pun ada, berita yang muncul, lebih banyak "membela" konglomerat. Tak ada cover both side. Warga atau penonton hanya bisa menemukan info lain --jika boleh mengatakan cover both side- melalui media sosial.
Melihat kondisi tersebut di atas, Anda bisa menyimpulkan sendiri, bahwa membungkam media itu mudah. Konglomerat cukup mengorder iklan berspot-spot di televisi, atau menempatkan berhalaman-halaman iklan di koran atau majalah. Dengan begitu, konglemerat akan aman dari pemberitaan negatif. Jika stasiun televisi atau radio "nakal" (baca: masih tetap memberitakan dengan berita-berita yang bisa merusak citra baik), siap-siap tak kebagian jatah iklan.
Jika belum cukup membungkam media cetak dan elektronik, konglomerat juga bisa menggelontorkan miliaran fulus, untuk mengontrak para blogger atau buzzer media sosial. Lewat blogger, proyek bisa dibuatkan artikel (baca: kampanye pencitraan), sementara via buzzer, proyek bisa terus di-endorse. Teknik membungkam media seperti ini, tentu sangat efektif dan "lembut". Tak percaya, buktikan.
Salam sehat!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H