Mohon tunggu...
Ben Wirawan
Ben Wirawan Mohon Tunggu... -

left brain and right brain hemisphere thinker -driven by guts.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Wejangan Penikahan: Para Jomblo, Lebih Seringlah Traktir Orang Lain!

31 Januari 2016   13:11 Diperbarui: 1 Februari 2016   06:23 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perempuan-perempuan muda harus lebih menghargai lelaki-lelaki muda yang sedang galau memberanikan diri untuk melamar dirinya. Beneran! Tidak mudah bagi seorang lelaki muda untuk melepaskan hak “kemana-mana, asalkan suka, tiada orang yang melarang” << pinjam lagu Koes Plus dikit.

Saya ingat perasaan dua belas tahun yang lalu itu. Berani-gak berani, yakin gak yakin -campur jadi gado-gado kegalauan di umur pria pra 30.

Untuk saya … well, things were a little bit more complicated. Satu hari sesudah saya melamar ‘pacar saya’, bisnis yang saya bangun luluh lantak. Mesin bisnis yang saya harapkan dapat menghidupi keluarga baru saya, berhenti menghasilkan uang yang cukup. Cashflow berantakan. Bangkrut.

Sebenarnya bukan benar-benar salah saya sih. Bisnis pertama saya memang berhubungan dengan penjualan suvenir pada turis-turis yang datang ke kota Bandung. Di tahun 2002, cukup banyak orang-orang bule berlalu-lalang di Jalan Braga dan nongkrong di daerah Setiabudi. Jadi saya jualan suvenir kaos di dua daerah itu. Hasilnya lumayan, bisnis kecil itu setiap bulan naik penjualannya. Cukup meyakinkan pertumbuhannya. Makanya saya cukup percaya diri untuk melamar seorang mahasiswi psikologi UNPAD idaman saya.

DARN! Yang saya tidak tahu, di bagian lain Indonesia ini ada orang-orang yang punya agenda politik yang agak hardcore. Mereka ingin memerangi orang ‘kafir’ dengan meledakkan bom di dua buah cafe di Bali. Tidak lama sesudah saya mengundang keluarga saya untuk menemani saya melamar Fanny, dua bom itu pun meledak. Dua ratus dua orang meninggal dunia dan seluruh turis yang ada di Indonesia hengkang dan tidak berani kembali lagi untuk beberapa tahun ke depan. Penjualan kaos suvenir saya turun 70%. Usaha yang belum berjalan satu tahun itu kandas, gulung tikar.

Dasar sudah takdir, pemboman ini terjadi sehari sesudah saya sepakat bahwa pernikahan akan dilaksanakan 4 bulan kemudian. Nge-hang enggak sih? Yang kebayang di kepala saya bukan hanya masalah membiayai pernikahan, tapi masalah biayain keluarga. Mau dikasih makan apa pula keluarga saya nanti? Enggak berani saya cerita sama ibu saya. Saya pikir ini masalah saya sendiri, jadi saya mikir setengah mati … sampai akhirnya nyerah juga. Saya harus berbicara dengan seseorang yang lebih bijaksana –lebih banyak ilmu dan pengalaman.

Untungnya saya kenal seorang Kyai di daerah Pasir Putih, Parung. Orang memanggil dia: Haji Ali. Orang Betawi asli, lulusan Pesantren Gontor. Saya pergi ke rumah ibu saya, lalu pinjam mobil ayah saya untuk berangkat ke daerah Pasir Putih. Ibu saya bingung, “Tumben kamu mau ke tempat Pak Ali. Mau ngapain, Ben?”. Saya senyum sambil menjawab seada-adanya, ”mau tanya sesuatu ke Pak Ali, Mah”. Ibu saya kayaknya gak terlalu terganggu mendengar jawaban gak mutu seperti itu. Jadi saya langsung ngeloyor aja nyetir ke rumah Pak Haji Ali yang juga merangkap pesantren dan panti asuhan.

Pak Haji Ali kayaknya agak kaget melihat saya datang sendiri ke rumahnya. Dia senyum seakan tahu bahwa saya datang membawa masalah. “Waalaikumsalam. Wah si Benben dateng sendirian. Tumben. Ayo masup”, katanya ramah. Saya ikut ke dalam rumahnya yang luas. Konon katanya lahan luas yang dia buat menjadi panti asuhan itu adalah pemberian seorang yang sangat berterima kasih setelah ditolong oleh Pak Haji. Pak Haji ini memang helper sejati. Tapi ternyata bingung juga mau curhat ke Kyai, tuh. Gak biasa. Seumur hidup saya cuman pernah curhat sama ibu, pacar dan teman baik. Gak punya pengalaman curhat ke Kyai sama sekali. Jadi agak lama basa-basi kiri kanan gak jelas dulu.

Sampai akhirnya saya bilang juga, “Pak Ali, saya sebenernya sedang bingung”. “Nah, akhirnya keluar juga. Ayo Ben, keluarin aja”, katanya. Jadi saya berceritalah panjang tentang bagaimana usaha saya bangkrut padahal saya sudah janji mau nikahan. Keluarlah semua kekhawatiran saya, masalah bagaimana mau mengurus keluarga dan sebagainya. Bahkan saya sempat bilang ,”apa saya batalkan dulu aja ya, Pak Ali?”. Pak Haji Ali tidak menjawab. Dia lalu menengok kiri-kanan, seperti mencari seseorang. Lalu dia memanggil dua orang santrinya, “Eh lu! Sini lu berdua!”. Dua santri berumur sedikit di atas saya itu datang, duduk di kanan kiri saya. Kita berkenalan, sayang saya sudah lupa nama dua santri itu.

Pak Haji Ali langsung bertanya ke salah seorang di antara mereka, “Apa kabar anak istri lu?”. Si Santri sambil ketawa khas betawi langsung menjawab,” Baik Pak Haji. Sehat semuanya, alhamdulillah”. “Anak lu ada yang mati, kagak?”, tanya Pak Ali. (FYI, kakak ipar saya orang Betawi, jadi saya udah enggak kaget dengan cara bertanya akrab orang Betawi. Pertanyaan kayak begini bukan sesuatu yang tidak sopan, ini cara becanda orang Betawi tulen). Si Santri sambil ketawa langsung menjawab, “Ah Pak Haji bisa aja. Alhamdulillah semuanya sehat. Bini juga sehat. Sekarang anak-anak saya udah mulai sekolah, Pak Haji”. Pak Ali nanya lagi, ”Elu masih narik angkot, kan?”. Dan dijawab,”Masih pak Haji”. Lalu sesudah itu Pak Haji Ali menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang sama pada santrinya yang satu lagi. Semua dijawab dengan santai khas orang Parung. Tapi santri kedua ini ternyata pekerjaannya serabutan. Kadang kerja kuli bangunan, kadang kerjaan-kerjaan lain. Keluarga dia? Sehat juga.

“Tuh, Ben. Dengerin gak? Mereka ini kerjaannya serabutan, anaknya udah lebih dari satu. Gak ada tuh yang mati kelaparan. Nah elu … lulusan ITB. Takut sama kawin? Yang bener aja …”.‪#‎JLEB‬! Edasssss … berasa di-hook kanan kiri sama Manny Pacquiao. Saya terdiam .. hehehe … malu. Lalu dia meneruskan, ”Gue ngerti bahwa untuk setiap laki-laki, memutuskan untuk menikah itu adalah hal yang berat. Tapi lu salah mengerti. Ketika lu sudah nikah, istri dan anak-anak lu nanti memang menjadi tanggung jawab lu. TAPI mereka juga adalah makhluk. Ciptaan Allah. Semua rezeki mereka sudah dituliskan dan diurus oleh Allah. Anak-anak lu akan dateng ke dunia dengan membawa rejeki masing-masing. Lu yang harus mempersiapkan mereka, tapi pada akhirnya rejeki mah tetap tergantung dari Ridho Allah. Bukan elu”.

“Ngerti kagak, Ben?” pak Haji meyakinkan. Saya berusaha ngeles, “Tapi apa perlu secepat ini nikahnya, Pak Haji?”. Dia senyum, kayaknya dia udah biasa menghadapi orang-orang yang berusaha lari dari kenyataan. Dia lalu bertanya, ”Kapan terakhir kali lu nraktir makan orang lain, Ben?”. Nah Loh? Saya bingung, kenapa jadi nanyain traktiran begini? “Maksudnya, apa Pak Haji? Nraktir makan temen-temen gituh?” tanya saya. “Iya, siapa aja lah” katanya. “Errrr …. sebulan yang lalu mungkin. Kayaknya saya bayarin temen saya makan siang” jawab saya sambil berusaha mengingat. “NAAH ITU DIA. Itu kenapa lu harus segera nikah”.‪#‎DanSayaPunBengong‬. “Maksudnya gimana pak Haji?” dengan polos saya bertanya.

Pak Haji berumur 45 tahunan ini dengan antusias menjelaskan, ”Jadi gini, Ben. Lu tahu kan kalau menikah itu separuh dari agama. Tau alasannya kenapa?”. Saya geleng-geleng. Dia meneruskan, “Nikah itu enggak boleh ditunda-tunda. Karena nikah itu mendekatkan diri lu sama surga. Tadi kan gue tanya sama lu kapan terakhir kali lu nraktir orang. Lu jawab sebulan yang lalu. Duh …. jarang banget lu nraktir orang lain”. Saya melongo. “Nih, dua santri gue. Saban hari mereka ngasih makan anak istrinya tiga kali sehari. Lu itung sendiri berapa orang yang dia traktir tiap bulan? Lu pikir hanya karena ngasih makan anak istri itu adalah kewajiban suami, maka lu gak akan dapat pahala gituh? Menikah itu ladang amal, Ben. Pernah mikir ke sana, gak?”.

Saya ngangguk-angguk. Betapa bodohnya saya, merasa bahwa semua tanggung jawab itu ada di tangan saya. Dan betapa sombongnya saya, merasa bahwa saya ini udah cukup amal.

Dua jam di Pasir Putih adalah dua jam yang sangat mencerahkan. Beban saya terasa diangkat ke atas oleh tangan yang Maha Kuasa. Saya bulat tekad akan tetap melaksanakan pernikahan 4 bulan kemudian. Satu per satu masalah menuju pernikahan terpecahkan dalam bulan-bulan selanjutnya. Termasuk rejeki dadakan uang segepok hasil proyek yang terlupakan, yang tiba-tiba sampai ke tangan saya satu minggu sebelum resepsi pernikahan.

Sekarang, kami sudah dipercaya nraktir 3 anak laki-laki: makan pagi, siang, dan malam -selama hampir 12 tahun.

Miracles do happen after all. Ternyata memang ada kekuatan lain yang mengurus kita.

Para Jomblo, segeralah menikah! Lebih seringlah nraktir orang lain!

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun