Saya yakin, puluhan penumpang pesawat Foker 28 itu pasti berpegangan erat pada pegangan kursi masing-masing. Pasti tidak banyak orang yang sempat berpikir jernih untuk segera mengambil posisi menunduk darurat seperti yang digambarkan di leflet penerbangan yang terselip di depan kursi masing-masing. Anak-anak kecil pasti meringis menahan tangis -membuat kusut suasana yang sebenarnya sudah kalut tanpa tangisan mereka. Dan detik-detik itu, semua orang tua di dalam pesawat pasti merasakan perasaan terburuk yang pernah ada di hati mereka : perasaan tidak berdaya untuk menyelamatkan nyawa anak-anaknya.
Kecelakaan seperti ini memang tidak terduga. Cuaca saat itu cukup terang. Pesawat melayang gentle menuju runway. Ban menyentuh aspal tanpa hentakan yang berlebihan. Dalam skala 1:10, mungkin pendaratan itu layak diberi nilai 8. Penumpang-penumpang yang muslim, mungkin sudah melafalakan hamdalah di ujung lidahnya. Tapi beberapa detik kemudian terjadi bunyi patahan yang luar biasa keras yang diiringi dengan getaran hebat pada badan badan pesawat. Hamdallah di ujung lidah mungkin dengan cepat berubah menjadi seruan takbir.
Tidak ada orang yang bakal menyangka bahwa ban pesawat yang baru saja menyentuh bandar udara Hasanudin Ujung Pandang itu bakal patah. Bukan meletus. Patah! Ban kanan pesawat buatan Belanda ini patah pada batang penyangganya. Yang membuat keadaan lebih buruk adalah -patahan ban yang ukurannya hampir sebesar mobil kecil ini kemudian mencelat ke belakang -merusak mesin kanan pesawat dan kembali memantul ke depan dan merusak ‘flaps‘ kanan pesawat (bagian sayap pesawat yang bisa bergerak naik turun). Dengan rusaknya mesin kanan dan flaps kanan pesawat, maka kemampuan pengereman pesawat bisa dikatakan tinggal separuhnya.
Tapi cerita mereka belum berakhir. Nyawa mereka masih menggantung di lengan takdir Allah SWT -dan usaha dua orang yang duduk di kursi paling depan : Sang Pilot dan Co-Pilot. Kedua orang ini tahu sekali tanggung jawab yang disandarkan di bahu setiap penerbang. Mereka tahu, hanya mereka yang bisa membuat perbedaan pada akhir cerita ini.
This is the moment. Ratusan kredit yang dilahap di dalam sekolah penerbang, puluhan jam simulator yang melelahkan, dan pengalaman yang terkumpul dari ratusan jam terbang di dalam kokpit -akhirnya akan menentukan putus tidaknya nyawa puluhan orang yang duduk tidak berdaya di belakang. Are they good enough? I don’t know.
What I do know is : Tuhan Maha Pemurah. Hari itu, semua penumpang dititipkan pada dua orang terbaik-Nya. Sang Pilot dan Co-Pilot, dengan koordinasi yang mengagumkan, melakukan all the things ‘humanly possible’ untuk menyelamatkan jiwa semua manusia yang berada di pesawatnya. Mereka memutar balik arah putaran mesin yang tersisa, mengalihkan daya dorong mesin ke arah belakang. Sambil bersama-sama mengembangkan flaps untuk menambah daya henti pesawat. Dua orang ini memang layak duduk di kursi depan pesawat.
Tapi ada satu hal lain yang juga membuat kisah ini lebih ngilu untuk dikenang. Pangkal batangan ban di sayap kanan yang menghujam aspal, memaksa pesawat membelok ke arah kanan -keluar dari runway. Di satu sisi, sisa patahan ini secara langsung membantu pesawat mengurangi kecepatannya, di sisi lain justru mengarahkan pesawat langsung ke arah menara komunikasi airport. Gawat! “Pesawat dengan ban patah menabrak menara komunikasi di Ujung Pandang.” begitu mungkin headline terburuk yang bisa saja diterbitkan esok harinya.
Anyway, saya tidak ingat cerita selanjutnya. Kejadian ini terjadi belasan tahun yang lalu. Sudah agak lupa saya dengan detailnya. Yang jelas, headline ‘Pesawat menabrak tower’ itu tidak pernah dicetak. Yang ada adalah berita di RCTI tentang pesawat yang keluar dari runway dan berhenti beberapa puluh meter di depan menara bandara. “Wogh”, komentar saya malam itu. “Serem banget.” Anehnya pada pagi harinya, berita ini tidak muncul lagi di stasiun TV manapun. Begitu juga di berita siang dan sore. Aneh. Ada apa?
Cerita ini menjadi lebih jelas ketika Si Co-Pilot pulang ke rumah ibunya dua hari kemudian.. Kebetulan saya juga sedang menginap di sana. Kaget juga saya, ketika kakak saya pulang ke rumah dengan tatapan mata yang agak kosong. Dia berkata dengan nada lurus, “Pesawat Arry hampir nabrak menara …..” Lalu dia masuk kamar mandi, ganti baju, kemudian makan malam sambil bercerita sepotong-sepotong tentang kecelakaan di Ujung Pandang. Dengkul saya ikut lemas. Ternyata pesawat yang saya lihat di TV kemarin adalah pesawat kakak saya.
Saya masih sempat menemani kakak saya selama beberapa hari sesudah kecelakaan. Dia cerita bahwa semua kru pesawat tersebut di-grouded beberapa bulan kedepan. Semua kru juga harus bolak-balik ke psikolog perusahaan. Harus dipastikan bahwa tidak ada trauma menetap sebelum mereka semua mulai boleh terbang kembali.
Saya bahkan sempat bertanya ”Lu yakin mau terbang lagi?” Dia jawab .”Iya lah. Tapi nanti. Kalau udah diijinkan lagi. Sekarang sih istirahat dulu aja.” Kemudian saya berubah wujud menjadi tong sampah sementara untuk dia. Segala macam cerita menyeramkan dan istilah penerbangan dia guyurkan ke saya. Waduhh … epic … scary. Menariknya, semakin sering saya mendengarkan dia, semakin saya yakin bahwa kakak saya adalah pilot yang luar biasa. Untung pesawat di Ujung Pandang itu dia yang bawa. Di tangan orang lain, mungkin menara di Ujung Pandang itu harus dibangun ulang. Well … selamat-tidak-selamat sih di tangan Allah. Tapi jalan keselamatan kadang-kadang dilewatkan Allah lewat manusia-manusia macam kakak saya ini.