Gemintang begitu pijar cahayanya berkerlipan, awan tipis mungkin malam ini sempurna. Ombak merayu pasir untuk bermanja pada kaki laki – laki pengelana yang sedang gundah bersandar pada batu karang diam. Malam sempurna mungkin untuk sepasang kekasih yang sedang mabuk cinta, tapi tidak dengan si pengelana liar yang sedang kusuk melukis hatinya pada lautan.
“Percuma merayu tujuh lautan untuk membuktikan cintaku padamu, saya bukan lelaki untuk seperti itu. Saya lebih suka diam menikmati cintaku untukmu. Ya Untukmu wahai bidadari angin. Dan kau tau kenapa sampai saya tiba di batas pantai ini. Hanya ingin menyapa wajahmu.” Ah, seperti biasa kau masih menuntutku untuk membuatmu tergila – gila padaku.
Merenung pada malam, merayu sinarnya pada dewi malam untuk mendapatkan mantra cinta yang begitu hebat hingga bisa menaklukan hati bekumu. Masih ada malam selanjutnya dan selalu ada untukmu. Dan lelaki sepertiku ini hanya bisa membaca puisi, puisi tentangmu di batas malam yang penuh dengan warna. Di depan cendelamu dengan kutukan bisu dari kayu – kayu rapuh, melupakan malam untuk membunuh wujudmu. Tapi hati tak pernah sanggup, tak pernah bisa bicara dan tak pernah bisa berkata bahwa saya tak cinta.
Kau mau tau walau aku tak pernah bisa memberi alasan cintaku padamu, tapi kau akan mengerti kenapa aku mencintaimu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H