Dengan kondisi seperti itu masyarakat cenderung sulit diatur dan tidak percaya dengan pemerintah. Mereka merasa bisa hidup mandiri tanpa uluran dari pemerintah sehingga, anak-anak di sini jarang yang memilih pekerjaan sebagai pegawai negeri. Bahkan mereka bisa dibilang alergi dengan pekerjaan yang satu ini.
Namun setelah puluhan tahun berlalu kondisi masyarakat sudah jauh berubah. Saat ini produk hasil pertanian harganya tidak menentu. Sebagian tanah warga disewakan kepada perusahaan asing. Warga hanya bekerja sebagai buruh di perusahaan tersebut.
Kesadaran menyekolahkan anak juga sudah tinggi. Anak-anak mereka tidak hanya di sekolahkan sampai SD saja tetapi berlanjut ke SMP, SMA, bahkan ke perguruan tinggi. Sebagian anak didik saya waktu pertama menjadi guru juga sudah ada yang memilih profesi sebagai pegawai negeri. Ada yang menjadi bidan, guru, dan penjaga sekolah.
Tak jarang anak mereka juga ada yang magang di sekolah, Puskesmas, atau instansi pemerintah lainnya. Mencoba bekerja sebagai tenaga honorer atau wiyata bakti dengan harapan suatu saat bisa diangkat sebagai pegawai negeri.
Maka, sangat ironis jika mereka yang sudah dinyatakan lolos seleksi lantas undur diri. Sementara di sisi lain para tenaga honorer yang sudah lama mengabdi tidak ada kesempatan untuk mengikuti seleksi. Tentu karena terhambat berbagai persyaratan yang harus dipenuhi. Wallahu'alam.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H