Dulu sekitar tahun 1980-an ketika saya masih sekolah SD/SMP di Kebumen, anak sekolah yang mendapatkan beasiswa adalah mereka yang mempunyai prestasi. Ada yang berprestasi di bidang akademik, seni, maupun olahraga. Â Ada juara siswa teladan, lomba seni, lomba olahraga, lomba keagamaan, atau prestasi lainnya.
Saya salah satu yang beruntung mendapatkan beasiswa waktu itu. Saya juga tidak paham bagaimana prosesnya. Yang saya ingat ketika SD sering mewakili sekolah mengikuti lomba seperti lomba cerdas cermat, siswa teladan, dan lomba akademik lainnya.
Dari sekian banyak lomba yang masih terkenang adalah lomba siswa teladan (siswa berprestasi). Lomba siswa teladan waktu itu benar-benar menguji seluruh kemampuan peserta. Karena ada tes tertulis, Senam Pagi Indonesia (SPI), wawancara, bermain alat musik, dan membuat kerajinan tangan.
Tak disangka, dari lomba yang cukup melelahkan itu saya berhasil meraih peringkat 1 putera tingkat kecamatan. Dengan demikian saya berhak mewakili lomba yang sama di tingkat kabupaten. Namun di tingkat kabupaten saya tidak masuk  nominasi.
Namun saya merasa bangga meskipun belum berhasil meraih juara di kabupaten. Kebanggaan saya semakin bertambah ketika upacara Hardiknas di kecamatan menerima hadiah. Hadiah berupa alat tulis diserahkan oleh camat selaku inspektur upacara disaksikan seluruh peserta upacara dan masyarakat umum.
Di sela upacara, Â Pak Soejoed, kepala sekolah yang mendampingi saya berbisik, "Kamu akan diusulkan mendapatkan beasiswa." Saya pun tidak paham dengan kata-kata kepala sekolah waktu itu. Saya hanya menjawab singkat dalam Bahasa Jawa, "Nggih."
Mungkin itu sebabnya mengapa saya diusulkan mendapat beasiswa. Namun tak hanya itu saja, keadaan ekonomi keluarga juga menjadi pertimbangan. Kebetulan saya adalah anak yatim piatu sejak kelas 4 SD.
Tetapi mengusulkan beasiswa waktu itu prosesnya tidak secepat sekarang. Butuh waktu tahunan bahkan sampai lupa. Bagaimana tidak, beasiswa diusulkan sejak kelas 5 SD ternyata baru keluar setelah saya kelas 1 SMP.
Saya baru tahu mendapat beasiswa setelah ada surat pemberitahuan dari kantor Depdikbud Kabupaten Kebumen (lihat ilustrasi). Dalam surat itu disebutkan bahwa besarnya beasiswa Rp5.000,00/bulan selama satu tahun atau Rp60.000,00.
Bagi saya mendapat beasiswa Rp5.000,00/bulan adalah nominal yang cukup besar. Uang sejumlah itu bisa untuk memenuhi kebutuhan sekolah dan membayar SPP bulanan. Besarnya SPP waktu itu Rp2.500,00/bulan. Maka, dengan beasiswa tersebut SPP satu tahun langsung saya bayar lunas.
Meskipun beasiswa yang saya terima hanya setahun tetapi tetangga di kampung mengira untuk seterusnya selama masih bersekolah. Dan dampaknya luar biasa. Orang tua selalu memotivasi anaknya dengan kata-kata; "Ayo nak belajar yang rajin, olahraga yang giat, jadilah anak yang berprestasi, dan kehebatan lain yang layak untuk memperoleh beasiswa.
Keadaan ini tidak menjadikan mereka iri apalagi protes ke sekolah. Walaupun secara ekonomi mereka layak untuk menerima beasiswa. Namun karena merasa tidak punya prestasi sebagai sebab beasiswa mereka tidak apa-apa. Mereka tidak mengeluh, SPP bulanan tetap bayar penuh, dan semuanya berjalan baik-baik saja.
Dilema Guru
Kini keadaan sangat berbeda. Berbagai bantuan (beasiswa) untuk anak sekolah menjelma dalam aneka bentuk dan nama. Contohnya bagi pemegang kartu sakti; Kartu Indonesia Pintar (KIP), Kartu Keluarga Sejahtera (KKS), dan sebagainya bisa dipastikan mereka akan mendapat bantuan.
Dengan munculnya aneka kartu itu, kadang membuat repot pihak sekolah. Warga masyarakat yang merasa kurang mampu tetapi tidak memiliki kartu tidak segan-segan menanyakan ke sekolah. Mereka membandingkan Si Anu dengan Si Anu.
Padahal pihak sekolah hanya bertugas menampung data dan mengusulkan sesuai peraturan lewat Dapodik. Sekolah tidak mempunyai kewenangan apalagi menerbitkan kartu. Yang ada, pihak sekolah tugasnya bertambah dengan membuat berbagai administrasi sebagai persyaratan mencairkan bantuan. Â Â
Yang lebih menyedihkan berbagai bantuan itu lebih banyak diberikan karena ada sebab miskin bukan prestasi. Maka, menjadi dilema bagi guru dan orang tua ketika memotivasi anak. Apa jadinya jika memotivasi anak dengan kalimat, "Ayo Nak, jadilah miskin supaya dapat beasiswa!" Tentu, tidak lucu kan?
Dan, dampak yang lebih akut apabila anak yang dimotivasi dengan uang bantuan malah bukan semangat untuk maju atau semangat untuk hebat tetapi menjadikan mereka menyukai kemalasan dan kemiskinan. Sungguh memprihatinkan!
Jika demikian bagaimana dengan slogan, "Musuh kita bukan lagi penjajah, musuh terbesar kita saat ini adalah kemalasan, kemiskinan, dan kebodohan" Apakah slogan ini masih berlaku? Lantas, bagaimana sebaiknya guru dalam memotivasi anak di era kekinian?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H