ruang kelas. Hal apa pun yang kita lakukan di lingkungan sekolah adalah bermuatan nilai-nilai pendidikan. Salah satunya adalah tentang pembiasaan-pembiasaan.
Aspek pembelajaran atau pendidikan di sekolah sangat luas sekali, tak hanya tentang pengetahuan atau materi pelajaran yang kita ajarkan diMisalnya pembiasaan tentang sopan-santun dalam bertutur kata, pembiasaan tentang kebersihan, pembiasaan tentang toleransi dan kerja sama, dan seterusnya.Â
Termasuk tindak-tanduk guru itu sendiri di sekolahan adalah unsur pendidikan tersendiri. Misalnya ada guru yang sering marah-marah (emosional) kepada siswanya, maka boleh jadi kelak kebiasaannya itu akan diikuti oleh siswanya. Juga sebaliknya, perilaku guru yang supel, menarik, penuh motivasi dan kreatif dalam mengajar, boleh jadi akan menjadi inspirasi bagi anak didik.
Contoh lain misalnya saya sering mengucapkan "maaf" dan "terima kasih" kepada siswa saya baik di SD maupun di Madrasah Diniyah. Kata maaf saya ucapkan ketika meminta tolong kepada siswa, misalnya ketika minta tolong kepada siswa untuk mengerjakan sesuatu seperti mengambilkan penggaris, menyapu lantai yang terlihat kotor, dan lain-lain. Lalu setelah dikerjakan, pasti saya ucapkan "terima kasih, ya." Tujuan pembiasaan tersebut adalah agar anak-anak didik kita pun menerapkan hal yang sama dalam kehidupan sehari-hari mereka.
Oh ya, kenapa saya menulis judul di atas dengan kata "di madrasah", bukan di "sekolah"? Yupz, karena memang kebetulan saya mempraktikkannya di Madrasah Diniyah, beberapa waktu yang lalu. Sebetulnya baik di sekolah atau madrasah sama saja, ya. Dengan sedikit perbedaan, barangkali.
Selepas melaksanakan tugas di sekolah dasar, siang menjelang sore saya gunakan waktu untuk ikut membantu mengajar di Madrasah Diniyah. Peserta didiknya adalah siswa-siswi Madrasah Ibtidaiyah atau dari Sekolah Dasar.Â
Madrasyah Diniyah (MD) adalah pendidikan non formal. Tidak wajib dan tidak semenarik perhatian kepada pendidikan formal. Dengan kata lain, pendidikan di Madrasah Diniyah bertujuan untuk melengkapi "kekurangan" yang ada di sekolah. Terutama untuk memperdalam pelajaran mengaji, praktik ibadah, dan lain-lain.
Karena sifatnya yang non formal, peserta didiknya pun tak sebanyak siswa sekolah sebagaimana umumnya. Satu kelas ada yang berjumlah 10 siswa, ada yang 15, dan yang terbanyak ada yang 27 siswa.Â
Di MD ini kami membagi 5 kelas: kelas pra MD (siswa usia TK), kelas 1, 2, 3, dan 4. Â Masing-masing memiliki wali kelasnya tersendiri.Â
Karena sifatnya yang non formal, tak sedikit dari siswa-siswi yang terkadang masuk pada hari Senin, tidak masuk di hari Selasa. Bahkan ada yang lama tidak masuk, tiba-tiba masuk lagi. Ringkasnya, siswa tidak selalu hadir setiap hari sesuai jadwal, meskipun ada juga siswa yang rajin.
Kami sebagai tenaga pendidik pun memakluminya, sekali lagi ini pendidikan non formal, ya. Namun, sebagai pendidik kami tetap berusaha memberikan yang terbaik bagi mereka. Baik dalam hal pengajaran ilmu pengetahuan (keagamaan), maupun yang berkaitan dengan pembiasaan-pembiasaan (pendidikan karakter).
Namun, sekali lagi, karena ini pendidikan non formal, maka pendekatan dalam mencapai tujuan-tujuan yang ingin dicapai baik dalam aspek pengetahuan maupun karakter, tentu berbeda dengan pendidikan formal. Misalnya, seperti yang saya singgung di atas, kami harus banyak maklum. Seperti kepada siswa yang kadang masuk kadang tidak. Kami hanya sebatas mengingatkan, tidak sampai memberikan punishment. Mereka mau hadir saja sudah bagus. Yang terpenting ketika mereka hadir, kami memberikan pelajaran semaksimal mungkin. Harapan kami, mereka bisa baca Alquran dengan benar saja sudah Alhamdulillah.
Ada yang menarik sekaligus menyebalkan di kelas kami. Kebetulan kelas kami, kelas 1 sampai kelas 4 di lantai dua. Sementara lantai bawah adalah kelas pra MD (usia TK); juga terdapat kantor di sudut gedung, dan musholla di samping kelas pra MD. Nah, di kelas atas itu suka ada banyak burung walet yang bersemayam dan hilir mudik setiap hari. Kelas saya, kelas 3, termasuk salah satu favorit burung walet itu.
Praktis hampir setiap hari terdapat kotoran walet di kelas kelas kami. Dan hampir tiap hari pula kami harus membersihkannya. Dalam hal inilah terkadang ada siswa yang rajin dan malas bersih-bersih. Terutama siswa yang laki-laki cenderung malas dalam hal ini. Akhirnya siswa yang rajin malah terbawa malas.
Suatu ketika setelah libur cukup panjang, kelas begitu kotor dan bau saat hari pertama kami masuk. Saya mengajak semua siswa yang hadir untuk kerja bakti. Namun mereka nampaknya tidak menginginkannya. Ya sudah untuk hari itu pembelajaran kami laksanakan di teras, yang cukup besar untuk tempat belajar.
Sampai hari keempat, anak-anak masih tidak mau diajak kerja bakti. Alasan utamanya karena bau. Mungkin dari kotoran walet itu. Di samping memang peralatan kebersihan kami juga belum memadai. Misalnya lap pel belum ada.
Sabar... Pikir saya. Anak-anak ada benarnya, memang bau sekali ruangannya. Ditambah alat kebersihannya juga harus pinjam ke bawah, di musholla. Air untuk mengepelnya pun memang harus turun naik tangga. Karena kamar mandi ada di lantai bawah.
Banyak maklum dalam pikiran saya. Maklum ini, maklum itu. Dan, maklum ini juga pendidikan non formal. Sudah bagus mereka mau datang untuk belajar tambahan dalam hal mengaji dan lainnya, di samping mereka sudah belajar di sekolah formal pagi harinya.
Namun, saya juga tak mungkin membiarkan kondisi ini tak teratasi. Bagaimanapun anak-anak harus membiasakan pola hidup bersih, tanggung jawab dan lainnya. Apalagi sebagai siswa madrasah mereka harus mempraktikkan hadis Nabi, "Kebersihan sebagian dari iman." Â Maka, saya putuskan di hari ke-7 atau ke berapa, saya agak lupa, bahwa hari ini kita kerja bakti.
Saya mencari sapu, lalu saya menyapu ruang kelas. Lalu saya meminta anak-anak meminjam lap pel serta ember kecil ke bawah sekaligus bawa airnya. Sampai situ saya masih menyapu, beberapa anak terlihat malu, ada juga yang terlihat cuek. Hingga akhirnya ada yang merelakan dirinya untuk menyapu menggantikan saya.Â
Begitu juga dengan lap pel. Mulanya anak-anak tidak mau, sepertinya karena jijik melihat kotoran burung dan karena baunya juga. Namun Alhamdulilah akhirnya mereka mau juga mengepel sampai bersih. Saya pun turut serta di dalamnya. Saya tidak mau hanya mengatur-atur. Saya harus turut andil bersama mereka. Jika gurunya saja mau menyapu, bersih-bersih, masak iya muridnya diam saja. Pikir saya.Â
Mungkin pelajaran yang bisa diambil adalah kita mesti sabar dalam membimbing anak khususnya dalam hal menjaga dan merawat kebersihan lingkungan tempat belajar. Dan kita harus memberi contoh langsung kepada mereka serta terjun langsung bersama mereka.
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H