Mohon tunggu...
Oman Salman
Oman Salman Mohon Tunggu... Guru - Guru SD. Surel: salmannewbaru@gmail.com

Sedang belajar memahami anak dan ibunya...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Rusmini dan Anaknya yang Tidak Tahu Bapaknya

22 November 2020   17:35 Diperbarui: 22 November 2020   17:42 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tangis bayi memecah ketegangan di rumah Pak Rusmini. Nafas lega  dan untaian senyum senang campur getir keluar dari tubuh Rusmini yang basah bermandi keringat. Segenap kekuatan dalam dirinya dikeluarkan untuk melahirkan anak keduanya.

Di tengah perjuangan hidup-mati tersebut. Serta momen haru dan membahagiakan menantikan kehadiran anggota keluarga baru itu, Rusman sang suami, bapaknya anak-anak masih di perantauan. Katanya pekerjaannya masih tanggung.

Bayi mungil itu berkelamin laki-laki. Kelahirannya melengkapi anak pertama Rusmini dan Rusman yang berkelamin perempuan. Sinta namanya. Ia berumur 12 tahun.

Setelah bersih bayi itu diserahkan oleh ibu paraji (dukun beranak) kepada Kakeknya (bapaknya Rusmini) untuk diadzani dan iqomah.

Rusman adalah pekerja bangunan di Jakarta dan sekitarnya. Ia bekerja sesuai ajakan mandor yang berasal dari tetangga desanya yang merupakan desa asal Rusman sendiri. Kadang ada pekerjaan di Bekasi, Bogor, Jakarta, Karawang, juga Tangerang. Ia dan beberapa teman sepekerjaannya dapat pulang sebulan sekali secara bergantian. Atau jika ada kebutuhan mendesak bisa izin pulang. Seperti  saat melahirkan ini.

Namun entah kenapa Rusman tidak pulang. Saat ditelepon, pekerjaan sedang tanggung, jawabnya. Padahal sudah hampir dua bulan ia tidak pulang. Sementara salah satu teman sepekerjaannya yang kebetulan masih satu desa sempat pulang dua minggu yang lalu. Kepadanya Rusmini yang tengah hamil tua berpesan supaya suaminya dapat pulang secepatnya.

Rusmini sendiri selain sebagai ibu rumah tangga bekerja sebagai kuli di sawah. Biasanya ia ikut tandur (kuli tanam padi dengan bayaran padi saat panen nanti. Dan ketika panen Rusmini akan memanen yang ia tanduri).  Sistem bayarannya  5:1. Yaitu, 4 kilo untuk pemilik sawah dan 1 kilo untuk kuli tandur. Maka jika mendapat 100 kilo, kuli tersebut akan dapat 20 kilo padi basah.

Dari hasil kuli tersebut Rusmini kadang sampai mendapat 300 --an kilo padi basah dari beberapa pemilik sawah. Lumayan cukup untuk stok pangan keluarganya. Selain kuli tandur dan panen, Rusmini juga suka ikut ngagon (membersihkan rumput di tanaman padi agar tidak mengganggu pertumbuhan). Melalui kuli ini  Rusmini diupah sebesar 45.000 rupiah. Pekerjaannya dari pagi samapi jam 3-an.

Kaum wanita atau ibu-ibu di kampung Rusmini ini umumnya bekerja sebgagaimana Rusmini. Kaum laki-lakinya kebanyakan merantau sebagai pekerja bangunan. Sementara jika kaum lelakinya sebagai petani tulen alias tidak merantau, maka kaum ibunya pun akan ikut ke sawah setiap hari sebagaimana lelakinya. Para wanita itu mencangkul juga, tandur juga, ngagon juga, panen juga. Bahkan ditambah ikut ngarit (mencari rumput) untuk ternak kambing atau sapi mereka.

Bapaknya Rusmini adalah salah satu yang merupakan petani atau lebih tepatnya kuli tani tulen. Ia hanya memiliki sedikit sawah sehingga selebihnya ia bekerja sebagai kuli tani. Untuk tabungannya, ia mengurus sapi dengan sistem paparon (sapi milik orang lain, jika nanti melahirkan maka anak sapi itu menjadi milik Kakek. Anak kedua dari sapi itu, milik si pemilik. Begitu seterusnya). Namun Pak Rusmini tidak seperti lelaki-lelaki petani tulen yang lain yang dibantu oleh istri-istrinya. Ia sudah tak beristri sejak 15 tahun lalu. Istrinya meninggal karena penyakit lambung kronis.

Jadilah Rusmini anak perempuannya yang menjadi penanggung jawab maslah makanan. Tentu selain itu Rusmini juga sebagai kuli tani. Untungnya anak pertama Rusmini, Sinta, cukup rajin bantu-bantu cuci piring, cuci pakaian, dan lain-lain. Sebelum dan sesudah ia pulang sekolah.

Meski umurnya baru 12 tahun, pekejaan dan tanggung jawab rumahnya melebihi umurnya. Di saat teman sebayanya bermain, ia masih sibuk mengurusi pekerjaan rumah. Apalagi jika musim tanam dan panen. Bahkan ia terkadang harus bolos sekolah.

"Sin, tolong bawakan kayu putih sini!" Sahut Rusmini sambil menyiapkan baju untuk bayinya. Bayi itu baru saja dimandikan oleh bu paraji.

Sinta melanjutkan  pekerjaannya mengepel lantai. Punggung lengannya sesekali mengusap keringat yang muali bermunculan di dahinya. Setelah ibunya melahirkan adiknya, tugas Sinta di rumah jadi lebih banyak.

Sambil melumuri bayi dengan minyak kayu putih, Rusmini menyuruh Sinta untuk makan dan siap-siap pergi sekolah. Sontak Sinta kaget sebab hari ini adalah Minggu.

Entah karena kecapean, entah sedang memikirkan suaminya yang tak kunjung pulang, Rusmini tak ingat dengan pergantian hari. Sementara di luar rumah terdengar suara mesin motor butut. Itu tandanya Pak Rusmini bersiap berangkat ke sawah dengan arit dan cangkul di motornya.

Rusmini mengelus-elus bayinya yang sedang asyik menete. Matanya menatap kosong. Mungkin ia sedang memikirkan acara penamaan bayinya esok, di hari ke-7 kelahirannya. Selayaknya adat di kampungnya, hari ke-7 adalah hari yang sakral bagi kelahiran jabang bayi. Yaitu dengan diadakannya acara selamatan sekaligus penamaan sang bayi. Jika mampu, langsung menyembelih hewan aqiqah.

Rusmini sampai tak mendengar bu paraji yang telah memanggilnya sampai tiga kali. Hingga ia terperanjat ketika tangan lembut dukun beranak itu memegang bahu kanannya.

"Ya ampun!" Rusmini kaget.

"Oh iya, bu, besok jangan lupa ya, setelah ashar kita mulai acara selmaetannya." Lanjut Rusmini.

"Iya, Rus", bu paraji lalu menarik nafas panjang, "emm...ada kabar dari Jakarta?" lanjut bu paraji.

Hujan semakin sering turun. Tanaman padi sedang hijau-hijaunya. Para petani sibuk ini-itu dalam rangka pemeliharaan tanaman padi mereka. Dan tak lupa, obat semprot anti hama telah mereka siapkan jauh-jauh hari. Persiapan untuk hama yang biasanya mulai muncul saat padi mulai berbuah.

Sebulan setengah sudah Rusmini melahirkan anak keduanya itu. Ia menamainya Ahmad. Namun seminggu ini ia tidak bisa menggendong anak lelakinya itu. Ia hanya terbaring lemas di kasurnya. Hanya bangun untuk ke belakang saja.

Sinta dan kakeknya bergantian menggendong Ahmad siang-malam. Kini Ahmad mengonsumsi susu formula. Air susu ibunya tak keluar. Sudah satu minggu.

Pak Rusmini dengan dibantu oleh tetangga dan sanak saudara telah meminta obat dan jampe-jampe kepada kyai atau siapapun yang dianggap pintar. Mereka khawatir dengan kondisi Rusmini dan kasihan dengan pertumbuhan Ahmad.

Sembilan hari yang lalu Rusman datang dengan membawa geledek dan petir ke telinga Rusmini.  jiwanya runtuh. Hatinya hancur berkeping-keping. Pantas saja Rusman tak kunjung pulang. Ia telah terkena hama di Jakarta.

Rusman telah tergoda oleh janda, pekerja warung makan langganannya. Rupanya janda itu telah memikat Rusman yang setiap hari makan di sana. Sampai akhirnya Rusman melupakan istri dan anaknya di kampung.

Waktu terus berputar. Hari berganti, minggu berlalu, bulan berubah menjadi tahun. Kini Ahmad sudah berusia 5 tahun. Ia hanya sekali bertemu bapaknya. Ketika masih merah itu.

Rusmini menjelma menjadi wanita gigih, tangguh, dan kuat sebagai single parent. Ia pernah berjualan gorengan keliling, berjualan sayuran matang keliling, berjualan sayuran mentah, pernah bekerja sebagai ART di Jakarta, dan kini menemukan usaha tetapnya dengan membuka warung bakso di kota kecamatan. Bahkan kini ia memiliki satu karyawan.

Sinta, anak pertamanya, hanya lulus sampai SMP. Dengan bujukan uwanya (Kakaknya ibunya Rusmini) dan dengan air do'a dari kyai setempat, dan tentu atas izin Allah, Sinta mondok di sebuah pesantren salafi.

Dikarenakan kesibukan ibunya, dan kakaknya yang mesantren,  maka Ahmad lebih sering bersama kakeknya yang masih setia sebagai kuli tani dan memelihara sapi paparonnya. Ahmad sering ikut kakeknya ke sawah dan kandang sapi.

Entah ada angina pa, suatu sore di kandang sapi, ahmad berkata pada kakeknya.

"Kek, Bapak Ahmad ke mana?"  

Sekian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun