Para pemudik sudah kembali menjalani aktivitas rutin yakni kembali ke Jakarta atau daerah lain untuk kembali bekerja. Walaupun arus balik saat ini tak seperti biasanya dikarenakan wabah Covid-19.
Karena wabah ini kita banyak menyaksikan persyaratan tertentu seperti SIKM (Surat Izin Keluar Masuk) bagi pemudik untuk dapat kembali ke tempatnya bekerja.Tak sedikit dari para pemudik yang harus berputar balik saat ditemui persyaratan tidak lengkap.
Berbagai cara dilakukan oleh para pemudik yang tidak mengantongi persyaratan agar dapat lolos dari petugas chek point. Misalnya dengan mencari jalan tikus, menumpang pada truk logistik, dan lain-lain. Dan tak jarang masih ketahuan juga.
Kembali ke Jakarta untuk bekerja adalah pilihan yang sangat logis. Setelah sekian lama di rumah tanpa penghasilan sementara dapur harus tetap ngebul. Kembali bekerja adalah hal yang "mutlak", meskipun grafik penularan Covid-19 masih cukup tinggi.
Setiap keputusan ada risikonya. Kembali bekerja adalah pilihan terbaik ketimbang diam di rumah tanpa ada penghasilan. Sementara kebutuhan anak dan istri setiap hari mesti dipenuhi.
Seperti yang dilakukan beberapa tetangga di kampung kami yang kesehariannya bekerja di ibu kota dan sekitarnya kini sudah banyak yang melakukan arus balik. Ada yang ke Jakarta, Tangerang, dan sekitarnya.
Seperti tetangga yang kebetulan masih kerabat saya. Sebut saja namanya Ahmad. Ia mudik beberapa hari sebelum bulan puasa. Ia mudik bersama istrinya yang sedang hamil tua anak pertamanya. Kurang dari sebulan setiba di kampung, si jabang bayi terlahir, beberapa hari sebelum hari raya idul Fitri.
H+3 lebaran, Rabu, 27 Mei 2020, ia kembali ke perantauan meninggalkan istri dan bayinya yang baru berusia belasan hari. Sehari sebelum ia berangkat saya sempat bertanya kenapa tidak menunggu sampai kondisi penyebaran Covid-19 menurun. Jawabannya singkat dan padat: "Kantong sudah menipis, sementara kontrakan di kota tetap harus dibayar. Ditambah kebutuhan istri dan jabang bayinya."
Ahmad sehari-hari berjualan aneka gorengan di depan sebuah mini market di daerah Cikupa, Tangerang. Sudah hampir 3 tahun ia berjualan gorengan di sana.
Sebulan lebih berada di kampung hanya ada pengeluaran tanpa pemasukan, semakin membuat kantong kempes. Walau wabah Covid-19 masih "mengancam" ditambah harus meninggalkan bayinya yang baru berusia belasan hari, niat tulus mencari nafkah mengalahkan semuanya.
Ia siap berdamai sekaligus bertempur dengan kondisi dilematis antara keselamatan dari wabah dan menyelamatkan ekonomi keluarga. Bismillah dan ikhtiar menjadi modal untuk perjuangan mulia tersebut.Â