Ketika membaca topik pilihan Kompasiana memperingati hari puisi nasional saya teringat pada koleksi buku saya yang berjudul Mengenang Hidup Orang Lain, Sebuah Obituari karya salah satu sastrawan ternama Indonesia yaitu Ajip Rosidi. Buku ini diterbitkan oleh KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) tahun 2010.
Di dalamnya berisi 50 tokoh terdiri dari sastrawan, tokoh pergerakan dan politik nasional, tokoh-tokoh seni, serta beberapa tokoh yang berjasa terhadap dunia sastra, dan lain-lain.
Buku ini tidak hanya memotret tokoh besar seperti Pramoedya Ananta Toer, W.S. Rendra, Ali Sadikin, dan seterusnya. Namun juga memotret tokoh-tokoh kecil yang tak banyak dikenal namun memiliki peran besar.
50 tokoh ini merupakan orang-orang yang dikenal baik oleh penulisnya. Sehingga membaca buku ini seperti sedang membaca kisah persahabatan, perjuangan nilai-nilai moral, perjuangan idealisme para tokoh tersebut, dan membaca sejarah Indonesia khususnya Sastra periode setelah kemerdekaan.
Tokoh pertama yang ditulis dalam buku ini adalah sastrawan terkemuka tanah air, Pramoedya Ananta Toer. Pecinta sastra dengan sangat mudah akan mengenali nama Pram melalui karya fenomenalnya Tetralogi Buru.
Kepada Pram, Ajip menaruh harapan besar agar Pram mendapatkan hadiah Nobel Sastra. Pram adalah satu-satunya sastrawan Indonesia yang berkali-kali masuk nominasi hadiah Nobel.Â
Setiap tahun ada ratusan sastrawan dari seluruh dunia yang diunggulkan untuk mendapatkan penghargaan bergengsi ini. Padahal yang memperolehnya hanya satu orang. Ajip selalu berharap Pram lah yang mendapatkannya.
Pengarang dengan latar belakang budaya Melayu belum pernah ada yang memperoleh hadiah bergengsi itu. Ajip menyebutkan bahwa ada dua sastrawan berlatar belakang budaya Melayu yang pantas menerima penghargaan ini, yakni Pram yang mengarang dengan bahasa Indonesia dan Frankie Sionil Jose dari Filipina yang mengarang dengan bahasa Inggris.
Sampai Pram meninggal dunia pada hari Ahad, 30 April 2006, hadiah Nobel tak jua jatuh ke tangannya. Maka kesempatan sastrawan Indonesia mendapatkan hadiah Nobel itu sirna. Sebab tak pernah hadiah Nobel Sastra diberikan kepada sastrawan yang sudah meninggal. (Hal. 2).
Pram sangat produktif dalam menulis. Namun demikian honorarium menulis waktu itu belum mencukupi sehingga ia bercerai dengan istrinya pada tahun 1954. Pram kemudian menikah lagi dengan Maimunah yang merupakan keponakan dari Pahlawan Nasional M.H Thamrin.Â
Orang tua Maimunah adalah orang kaya dan memiliki beberapa rumah mewah di Jakarta. Pram diminta untuk menempati salah satu dari rumah-rumah itu. Tetapi Pram lebih memilih untuk tinggal di kontrakan yang hanya beralaskan tanah. Maimunah yang berlatar belakang keluarga kaya tetap setia pada suaminya.