Mak Edon ditinggal mati suaminya saat anak kedua sekaligus bungsunya berusia 15 tahun. Keadaan ini membuat perekonomian Mak Edon semakin sulit.Â
Saat kesulitan ekomomi inilah Mak Edon mulai meninggalkan kegiatan meninun. Penghasilan dari meninun tak seberapa sementara pengerjaannya cukup memakan waktu. Namun setelah kondisi ekonominya brangsur pulih, beliau kembali menekuni kerjainan tenun tersebut.
Kehidupan sulit dan pahit beliau semasa kanak-kanak dan  beliau menjadi orang tua tunggal dilaluinya dengan penuh kesabaran. Beliau memilih untuk tidak menikah lagi setelah suaminya meninggal.
Kini kedua anaknya sudah mandiri dan mapan. Bahkan warga sekitar sering berujar bahwa Mak Edon kini saatnya menikmati kebahagiaan setelah melewati masa-masa pahit dan sulit.
"Ayeuna mah Mak Edon tinggal bahagiana bae, geus seubeuh sangsara." Kata Mak Edon menirukan ucapan tetangganya. (Sekarang mah Mak Edon tinggal bahagianya saja, sudah kenyang sengsara).
Namun, jumlah pengrajin tenun di desanya yang tinggal 3 orang, warisan budaya leluhur ini terancam punah. Terlebih, saat ini belum diketahui apakah ada orang yang bisa membuat alat tenun tersebut.
Akan terbayangkan jika alatnya rusak, siapa yang akan membuatnya kembali. Jika rusak dan tak ada lagi alat tersebut, maka generasi berikutnya tentu tak akan mengenali bahwa leluhurnya memiliki kerajinan dan produk budaya yang luar biasa.
JIka sedang tidak menenun, Mak Edon akan menyimpan alat tenun tersebut serapi mungkin agar tidak terkena rayap. Sebab ia memandang alat tersebut lebih dari sekadar barang tenun biasa.
Ia meyakini betul alat ini adalah warisan budaya leluhurnya yang mesti dijaga. Terlebih, saat ini belum ada orang yang bisa membuat alat tenun tersebut. JIka alat yang ada rusak, maka hilanglah sudah warisan budaya lokal ini.
Semoga Mak Edon sehat selalu dan panjang umur. Dan semoga kerajinan tenun kain kafan ini tetap lestari.