Mohon tunggu...
Oman Salman
Oman Salman Mohon Tunggu... Guru - Guru SD. Surel: salmannewbaru@gmail.com

Sedang belajar memahami anak dan ibunya...

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Intrik Politik sampai Pengkhianatan Kakak-Beradik dan Pembunuhan Saudara dalam "Nur Jahan The Queen of Mughal"

21 Juni 2019   14:18 Diperbarui: 21 Juni 2019   14:32 663
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Novel Nur Jahan the Queen of Mughal adalah sekuel novel best seller "Mehrunisa The Twentieth Wife" karya Indu Sundaresan. Novel ini diterjemahkan dari The Feast of Roses Karya Indu Sundaresan, terbitan Washington Square Press, 2002. Nur Jahan The Queen of Mughal adalah edisi bahasa Indonesiannya yang diterbitkan oleh Penerbit Hikmah pada Mei 2008.

Novel ini mengisahkan tentang Ratu Nur Jahan yang bernama asli Mehrunisa. Mehrunisa memiliki seorang kakak bernama Abul Hasan. Mereka adalah anak dari Ghias Beg. Ghias Beg adalah bangsawan miskin yang kabur dari Persia ke India. Ia diterima oleh Sultan Akbar di India, di kerajaan Mughal. Kehidupan Ghias dan anak laki-lakinya, Abul Hasan, meningkat drastis setelah Mehrunisa dinikahi oleh Jahangir yang saat itu telah bergelar Sultan menggantikan ayahnya, Sultan Akbar. Terlebih setelah Mehrunisa mendapat gelar Nur Jahan, Ayahnya dan kakak laki-lakinya mendapatkan tempat istimewa di kesultanan dan dengan itu, taraf kehidupan merekapun meningkat drastis.

Mehrunisa dinikahi oleh Sultan Jahangir sebagai istri ke-20. Meskipun istri ke-20, Mehrunisa adalah cinta lama Jahangir. Ketika Jahangir masih berstatus Pangeran, ia telah mencintai Mehrunisa, namun cintanya tak mendapat restu dari ayahnya, Sultan Akbar.

Jahangir menganugerahi Mehrunisa dengan gelar Nur Jahan. Gelar ini adalah bukti dalamnya cinta Jahangir kepada Mehrunisa. Cinta yang telah terpendam bertahun-tahun dan akhirnya mendapatkan persemiannya. Persemian yang membuat cinta Jahangir begitu menggebu- gebu dan tak pernah terpikirkan untuk menikahi wanita lain setelahnya. Bahkan istri-istri Jahangir terdahulu, khususnya Jagat Gosini sebagai istri istimewa Jahangir, kini tak pernah dilirik oleh Jahangir. Perhatian Jahangir hanya terpusat pada Mehrunisa yang ia anugerahi gelar Nur Jahan itu.

Nurjahan lalu menjadi sosok yang kontroversial dan mendobrak tradisi kesultanan tentang sosok perempuan istri Sultan. Dengan keberanian dan kecerdasaannya, serta, tentu saja dengan cinta agung Sultan Jahangir kepadanya, Nur Jahan lalu mendapat gelar Ratu, dan kini ia dipanggil dengan Ratu Nur Jahan.

Dalam kesempatan-kesempatan selanjutnya, keberadaan Sultan Jahangir tak dapat dipisahkan dengan ratunya, Nur Jahan. Bahkan dapat dibilang, keputusan-keputusan yang diambil Sultan, tak ubahnya adalah juga keputusan sang Ratu. Sesuatu yang tak pernah terjadi sebelumnya pada kesultanan Mughal.

Namun Ratu Nur Jahan tak dapat berbuat apa-apa jika kelak Sultan Jahangir meninggal dunia. Sang Ratu yang cerdas dan pendobrak tradisi ini pun lalu meyakinkan suaminya, Sultan Jahangir untuk menikahkan anaknya, Pangeran Shahryar, dengan Ladli, anak satu-satunya Nur Jahan dari suami pertamanya, Ali Quli. Mereka lalu menikah dan dikarunia satu anak perempuan. 

Nur Jahan sebetulnya ingin menikahkan anaknya, Ladli, dengan anak Jahangir lainnya yaitu Pangeran Khuram. Khuram dan Shahryar adalah kakak-berdik namun beda ibu. Khuram memiliki potensi yang jauh lebih besar untuk menjadi Sultan dibandingkan Shahryar. Khuram memiliki segalanya. Dan Jahangir sendiri menaruh harapan besar kepada Khuram. Pangeran Khuram lebih memilih menikahi dengan pujaan hatinya, Arjumand Banu yang tak lain adalah keponakan Nur Jahan atau anak dari kakaknya Nur Jahan, Abul Hasan. Atas kegagalan menikahkan Khuram kepada Ladli, maka Nur Jahan menikahkan Ladli, anak perempuannya dari pernikahannya dengan Ali Quli, kepada Shahryar, sang pangeran yang tak bisa apa-apa dibandingkan dengan Pangeran Khuram. Dengan memiliki menantu Pangeran, tentu akan semakin menguatkan posisi Ratu Nur Jahan yang nota bene bukan berasal dari keluarga kerajaan.

Namun dalam babak berikutnya, Pangeran Khuram diduga kuat menjadi dalang pembunuhan terhadap pangeran lainnya yaitu Khusrau. Artinya, Khuram telah membunuh saudara laki-lakinya se-ayah beda ibu. Atas dasar ini, sang ayah yang sekaligus sebagai sultan, Jahangir, tak dapat menahan rasa kekecewaan terdalamnya terhadap pangeran yang sebelumnya ia banggakan. Sang Sultan lalu memerintahkan Khuram untuk menghadapnya. Namun sang Pangeran membantah lalu kabur dan mengasingkan diri jauh dari ibu kota.

Di tengah situasi ini, Jahangir mengalami sakit. Kian hari penyakitnya semakin parah dan akhirnya ia tak lagi kuasa menahan sakit paru-apru yang dideritanya. Sultan Jahangir akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya pada tanggal 28 Oktober 1627 pada usia 58 tahun.

Nur Jahan, sang istri sekaligus ratu, mencoba untuk meyakinkan para petinggi kerajaan bahwa situasi terkendali meskipun sang Sultan telah meninggalkan kerajaan untuk selamanya. Namun sang Ratu tak dapat berbuat banyak kepada para petinggi kerajaan sebab semua tahu belaka bahwa Nur Jahan bukan siapa-siapa tanpa Sultan Jahangir. Para petinggi kerajaan tak dapat dan tak akan menerima perintah Nur Jahan lagi. Dalam tradisi kerajaan, jika Sultan telah wafat, maka sang Pangeran penerus takhta yang akan mereka dengar dan ikuti. Namun pangeran yang mana? Siapa? Kesultanan dalam keadaan kekosongan dan kondisi ini sungguh menyulitkan dan mengkhawatirkan. Konflik perebutan kekuasaan dapat terjadi kapan saja.

Dalam keadaan sakitnya, Sultan Jahangir membuat wasiat bahwa penerusnya adalah pangeran Shahryar, suami Ladli sekaligus menantu Nur Jahan. Namun saat ini ia sedang tidak berada di samping mereka. Nur Jahan mengkhawatirkan keberadaan pangeran lainnya, Khuram, yang sekaligus sebagai menantu dari Abul Hasan, kakanya Ratu Nur Jahan. Meskipun Khuram kini berada jauh di pengasingan.

Dalam situasi ini, ketika tak ada satu pun petinggi kerajaan yang dapat mendengarkan apalagi menjalankan perintah Ratu Nur Jahan yang kini adalah janda sultan, ia menaruh harapan satu-satunya kepada kakak kandungnya, Abul Hasan.    

Di samping jenazah Sultan Jahangir, Ratu Nur Jahan bertanya kepada kakaknya, Abul Hasan.

"Akankah kau mengkhianatiku, Abul?"

"Aku takkan mengkhianatimu, Nur Jahan, kau dan aku, kita sedarah, aku takkan mengkhianatimu." (hal. 647)

Keduanya lalu melakukan sumpah setia takkan mengingkari janji seraya memakan tumbukan biji datura yang mematikan.

Sumpah setia yang pernah mereka lakukan saat mereka masih kanak-kanak, setelah sebuah kejadian bodoh yang mereka berdua tak boleh bicarakan. Kejadian yang tak teringat lagi oleh Nur Jahan...mungkin Abul pergi ke tempat minum? Atau mereka berdua pergi ke sana? Sesuatu yang seperti itu. Sesuatu yang tak boleh didengar oleh Bapak dan Maji mereka. Sebagai bentuk sumpah setia keduanya, mereka memakan serbuk putih dari biji datura yang telah ditumbuk. Terasa pahit dan berminyak di lidah, selama berjam-jam setelahnya mereka terhuyung-huyung, setengah tak sadarkan diri, terus-menerus meminum air, mata dipejamkan untuk menghalau cahaya dunia yang terasa menyakitkan. Perut Mehrunisa (waktu itu belum menjadi Nur Jahan) kejang-kejang dan saat itulah Abul memanggil Maji. Ibu mereka memberinya pasta dari asam Jawa dan potongan arang dan Mehrunisa lalu memuntahkan isi perutnya ke lantai. Dan setelah itu baru rasa sakitnya berkurang dan ia dapat membuka mata ke arah cahaya tanpa mengernyit. Dan tak satupun dari merreka mengatakan apa yang telah mereka makan sebab mereka telah berjanji dan sumpah setia. (hal. 119-120)

Sumpah setia yang hampir merenggut nyawa mereka.

Nur Jahan tak tahu, Abul telah mengkhiantainya. Tak seperti saat mereka masih kanak-kanak dulu, kini Abul tak memakan atau menjilat serbuk biji datura yang mematikan itu. Ketika Nur Jahan menjilatkan telunjuknya yang telah dilumuri oleh serbuk biji datura, rupanya Abul menjilatkan jari tengahnya. Jari telunjuknya yang telah ia lumuri dengan biji mematikan itu, tak ia jilat. Sang Ratu sempoyongan oleh efek serbuk itu di tengah pengkhianatan kakaknya.

Abul lalu memerintahkan anak buahnya untuk membawa pesan lisan kepada menantunya, Pangeran Khuram, yang berada di Deccan, bahwa Sultan Jahangir telah wafat dan untuk segera datang ke Lahore, tempat di mana Jasad Jahangir berada. Sementara itu, wasiat dari mendiang Sultan Jahangir untuk Pangeran Shahryar tak pernah tiba.  

Dengan kekuatan penuh yang dimiliki Pangeran Khuram dan hilangnya pengaruh Ratu Nur Jahan bersamaan dengan meninggalnya sang suami, Sultan Jahangir, maka Pangeran Khuram dengan mudah melenggang menguasai istana dengan gelar Sultan. Ia lalu dikenal dengan Shah Jahan dan istrinya, Arjumand Banu, yang tak lain adalah anak dari Abul Hasan yang berarti keponakan dari Nur Jahan, mendapatkan gelar Mumtaz Mahal.

Nur Jahan lalu diasingkan di Lahore, jauh dari ibu kota kerajaan, Agra. Sultan Khuram terlalu takut membiarkan janda sultan berkeliaran di wilayah kerajaan. Sementara pangeran Shahryar meninggal pada tahun 1628, setahun setelah kematian Sultan Jahangir. Nur jahan hidup di pengasingan bersama anak satu-satunya, Ladli, bersama cucunya, Arzani, dan pengawal setia Sultan Jahangir dan dirinya, Hoshiyar Khan.

Novel bergenre sejarah ini sangat recomendeed bagi Anda para pecinta sastra. Indu Sundaresan telah berhasil membawa pembacanya mengelana ke sudut-sudut tanah Hindustan dengan alur sejarah kekuasaan Mughal yang diselimuti intrik-intrik dan konflik internal waktu itu. Selain itu, digambarkan pula awal kedatangan pelaut-pelaut Portugis dan Inggris yang sama-sama berebut pengaruhnya di tanah Asia, khususnya India.

Intrik politik, perebutan kekuasan, pengkhiantan antarsaudara, sampai pembunuhan, yang terjadi dalam novel bergenre sejarah ini, kiranya dapat kita jadikan pelajaran bahwa kekusaan selalu menyisakan sejarah kelam. Akan kah ia terulang di masa-masa berikutnya? Tentu itu tergantung manusianya, apakah manusia-manusia di zaman modern ini dapat memetik pelajaran-pelajaran kelam dari masa lalu negaranya masing-masing atau malah mengulangnya dalam bentuk dan waktu yang berbeda.

Nyatanya, di beberapa Negara masih ada konflik atau perang saudara dalam perebutan kekuasaan. Di Negara kita sendiri pernah ada tragedi kelam Gerakan 30 Septemnber 1965. Tentu, kita semua berharap agar di manapun, khusunya di negeri yang kita cintai ini, persatuan dan kesatuan serta perdamaian menjadi landasan dalam berbangsa dan bernegara.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun