Mohon tunggu...
Abdur Rahman
Abdur Rahman Mohon Tunggu... swasta -

Lelaki yang tidak konsisten dalam menulis, kadang selera nulis banyak, dan lebih banyak tidak selera menulisnya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Emak dan Apak

3 April 2018   14:20 Diperbarui: 3 April 2018   14:33 214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

tentang kegiatan pagi ini, kata Amak setelah masak nasi, makan, ama mulai mengerjakan kegiatan sehari-harinya, ada saja yang di kerjakan, tidak bisa di jelaskan satu persatu, begitu lah orang tua yang tingal di kampung untuk mengisi hari-hari nya. Pagi ini ama ngupas kelapa , "ada yang pesan kelapa kemaren", baru hari ini di kerjakan sedikit-sedikit, "lumayan buat jajan". Ahhhhh ama, sedih mendengarnya, di usianya yang renta, yang hanya daging di lapisi kulit keriputnya, harus mengerjakan pekerjaan berat. Kebayang tidak, ama harus mengayunkan parang berkali-kali  untuk mengupas kulit sabut kelapa yang kalau sudah kering, perlu tenaga ekstra untuk mengupasnnya, (sudah pernah coba??), untuk mengupas satu buah kelapa saja, saya yakin di butuhkan waktu yang lama, karena tenaga ama yang tidak seberapa, dan alotnya kulit sabut kelapa yang akan di buka. Sudah dapat di pastikan, nanti malam badan ama akan terasa pegal-pegal dan sakit. 

Ama mengerjakan itu semua, bukan karena tidak punya uang untuk belanja, tapi ama mengerjakan semua pekerjaan beratnya untuk menyalurkan hobi nya(berjualan), untuk mengisi kekosongan hari-harinya. Kalau di fikirkan, uang yang akan di dapatkan ama dari menjual buah kelapa tidaklah banyak, bahkan bisa di bilang tidak sebanding dengan perjuangan yang harus di lewati untuk mendapatkan buah kelapa siap jual. Ini bukan soal angka atau jumlah, ini soal kepuasan batin seorang ama. 

Pernah sekali-kali ama di larang untuk berjualan menjajakan hasil tani nya, kadang ada buah Pisang, buah Pinang, buah Coklat, buah Kelapa, Buah Nanas, bahkan sampai telur ayam kampung, tapi ama tidak bergeming, kalau ada yang bisa di jual ke pasar, pasti akan di bawa ke pasar dan ama akan berjualan di pasar. Ada satu tanda kepuasan, kemenangan tersendiri yang terbesit di guratan wajah ama, ketika ama berhasil menjajakan barang dagangannya, entah itu berapapun nilainnya, "lumayan bisa buatbeli sayur, cabe, ikan asin, bawang dan lain-lain", kata ama. "Iya ma, alhamdullilah, mudah-mudahan ama terus sehat dan kuat bisa berjualan ke pasar". 

"Nanti agak siangan, mau ke kebun, ada pisang Muli yang siap di tebang", sambungnnya di ujung sana. Kalau kelamaan nanti di ambil orang buah Pisangnya , bukan tanpa alasan ama bersegera memanen buah Pisang yang sudah tua. Pernah sekali cerita, ama menangis karena buah pisang satu tandan yang sudah siap panen, di panen orang terlebih dahulu, raib hanya meninggalkan batang pohon yang sudah di tebang, waktu itu ama sampai gregetan, jengkel, sedih, menyesal menceritakan buah Pisang nya di panen orang lain, kebayang bagaimana sedihnya, kita yang menanam, merawat, membersihkan, eh pas siap panen, di panen orang lebih dulu. Waktu itu, hanya bisa menguatkan ama untuk tetep sabar dan berdoa, semoga Allah akan mengganti dengan rezeki yang lain, ama pasrah, namun dalam helaan nafasnya terdengar masih sangat sedih dan kecewa, hasil tani nya di rampok orang lain, walau hanya buah Pisang.

bercerita lagi

Minggu-minggu ini banyak undangan datang kerumah , perasaan ama ga habis-habis man, "anak si A kemaren nikah, anak si B juga nikah, besok anak si C nikah juga, sudah pasang tenda, tendannya sampai nutupin jalan", "iya ma, mau pesta besar atuh itu mah , da anak bungsu yang mau nikah ", iya kata ama. Tak sampai di situ, ama bahkan membacakan undangan yang smapai kerumah, karena ama merasa saya kenal dengan baik dengan yang akan menikah, iyaa ma , iyaa, iyaa. Seperti biasa, saya tidak akan  banyak membahas kalau ama sudah bercerita tentang anak-anak para tetangga-nya yang nikahan, yang syukuran anak lah, hanya menjawab seperlunya saja, sembari berusaha untuk mengalihkan pembicaraan ke topik yang lain, cerita lain, tanpa alasan.

Seperti biasa, yang tidak pernah terlewatkan ketika bertemu suara di udara, "sing bageur, sing seeur nu welas asih, sing sehat, sing ati-ati", iya ma.

"iya ma", silahkan kalau mau melanjutkan kegiatannya, jangan terlalu di paksanakan, jangan terlalu capek ma, sehat terus ya....

salam dari sebrang laut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun